');

KASUS LAPINDO DAN KEALPAAN NEGARA

expr:id='"post-" + data:post.id'>

Dr. Hendarmin Ranadireksa

“ … Setiap orang berhak mempunyai milik pribadi dan hak milik pribadi tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun...” (Pasal 28 H, 4, UUD 1945–Amandemen IV). ”... Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia...” (cuplikan kalimat dalam Pembukaan UUD 1945). Namun apa yang kita lihat hingga kini?

Andaikan Francis Fukuyama (2004) mencari contoh bentuk kelemahan negara dalam perannya di dalam masyarakat, keputusan pemerintah dalam penanganan kasus lumpur Lapindo, mungkin dapat menjadi salah satu rujukan konkretnya (Kompas, 27/2). Dalam kasus ini terkesan kuat negara tidak memiliki kekuasaan memaksa yang memungkinkan masyarakat dapat dilindungi hak milik pribadi dan penggantian atas kerugian yang dideritanya.

Tuntutan korban bencana agar PT. Lapindo membayar ganti rugi 100% terbentur pada kesanggupan perusahaan yang hanya mampu membayar bertahap (20% setelah korban menyerahkan bukti-bukti yang sah secara hukum dan hanya 80% sisanya diangsur). Yang memprihatinkan, pemerintah bukannya berusaha memperkuat posisi tawar korban bencana melainkan ikut giat menghitung kerugian (rel KA, jalan tol rusak, pipa air patah). Pemerintah terkesan ingin menempatkan diri sebagai sesama korban bencana yang karenanya berhak memperoleh ganti rugi sebagaimana korban.

Sementara, meluasnya wilayah genangan akibat semburan lumpur panas yang berkapasitas ± 100.000 M3 per/hari dengan perkiraan total volume mencapai 1.155 miliar M3 yang diperkirakan berlangsung hingga tiga puluh satu tahun, terus menghantui penduduk dan wilayah sekitar (Walhi, Oktober 2006). Sungguh dahsyat sekaligus mengerikan.

Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rahmat Witoelar benar ketika menyatakan bahwa kasus lumpur Lapindo adalah force majeure yang penanganannya tidak bisa lagi menggunakan kaidah-kaidah normal.[1] Melihat besar dan luasnya ancaman akibat bencana tidak bisa tidak status bencana sudah harus masuk kategori ”Bencana Nasional.” Artinya, penyelesaian bencana tidak semata oleh eksekutif namun harus pada tingkat Negara. Seluruh unsur penyelenggara negara seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, birokrasi, kepolisian, tidak terkecuali militer harus terlibat dan dilibatkan (maka kurang pada tempatnya DPR melakukan interpelasi pada pemerintah seakan kewajiban penanganan kasus hanya pada pundak pemerintah). Demi persyaratan legal dan legitimate Presiden, selaku Kepala Negara, perlu mengumumkan secara resmi status bencana.

Dengan modus tersebut, urutan prioritas langkah penanggulangan menjadi jelas Maka hal-hal yang perlu dilakukan antara lain; pertama, hentikan segera negosiasi tidak berujung antara korban bencana dengan swasta penyebab bencana. Kasus ini bukan sengketa warga dengan swasta, bukan kasus perdata. Pemberi izin pengeboran dan pengawas pelaksanaan pekerjaan adalah Pemerintah cq. Negara. Dus, Negara harus bertanggungjawab. Kedua, Negara segera mengambilalih tanggungjawab atas keselamatan dan gantirugi korban bencana. Pembayaran bisa dilakukan dua tahap. Pertama, tahap darurat. Sementara menunggu angka pasti jumlah total ganti rugi layak yang bisa dipertanggungjawabkan, Negara (bukan swasta penyebab bencana) menalangi kebutuhan hidup dan kehidupan warga. Kedua, Negara membayar gantirugi menyeluruh yang dengan itu masyarakat korban mulai bisa memulai kembali kehidupan normalnya (angka kerugian bisa diperoleh dari perusahaan penilai independen yang ditugaskan negara).

Melihat besarnya skala bencana, mustahil tanpa revisi APBN. Maka diperlukan kesadaran legislatif dan eksekutif tingkat pusat dan daerah untuk menghapus program yang kurang perlu (semisal studi banding, pembelian laptop, mobil dinas baru, kenaikan gaji atau tunjangan). Tidak menutup kemungkinan, mencari pinjaman luar negeri. Ketiga, Negara bertindak terhadap penyebab bencana. Walau bukan unsur kesengajaan, penyebab bencana harus tetap dinyatakan bersalah karena perbuatannyalah ribuan warga menderita, lingkungan hidup rusak, dan terjadi kerugian negara. Negara harus tegas melaksanakan fungsinya selaku Pemegang Kedaulatan yang kekuasaannya mendekati mutlak itu (Leviathan, kata Thomas Hobbes). Yudikatif harus proaktif dengan secepatnya menetapkan status hukum penyebab bencana. Perlu payung hukum bagi Negara untuk menutup kegiatan dan atau menyita kekayaan penyebab bencana.

Keempat, Partai politik perlu bersikap terhadap korban (yang mungkin konstituennya juga) dan terhadap PT. Lapindo (mengapa mereka bisu terhadap kasus ini?). Kelima, Peran LSM perlu diteruskan bahkan pada tempatnya ditingkatkan. Keenam, Universitas perlu menyumbangkan pandangan akademisnya berupa usulan teknis, konsepsional, dan komprehensif untuk mengatasi penyebab dan dampak bencana. Di sini parpol, LSM, dan universitas berfungsi sebagai katalisator. Tanpa langkah-langkah tersebut maka permasalahan dari waktu ke waktu akan terus berakumulasi. Harus dihindari kesan bahwa dalam kasus Lapindo telah terjadi kealpaan, yakni kealpaan Negara. (*)



[1] Koran Tempo, 28 September 2006.

0 komentar:

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com