');

SKANDAL DI BALIK LUMPUR

expr:id='"post-" + data:post.id'>

Jusuf Suroso

Akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan, kasus semburan lumpur panas akibat kesalahan kerja PT. Lapindo Brantas Inc. dinyatakan sebagai disaster [bencana]. Penetapan sebagai bencana belum dirinci secara jelas. Apakah pemerintah akan mengambil alih penyelesaian kasus tersebut, termasuk ganti rugi sawah, ladang, rumah dan puluhan pabrik yang tenggelam. Beberapa hari kemudian Presiden menyatakan agar segera mempercepat pemberian bantuan [Hinar Harapan,30/11/06].

Pernyataan Presiden itu mendapat dukungan dari berbagai pihak, tetapi juga disertai penyesalan, mengapa baru sekarang Presiden menyatakan itu, atau setelah jatuhnya korban jiwa. Selain itu juga dipertanyakan bagaimana tanggungjawab PT. Lapindo Brantas Inc. pemicu terjadinya bencana tersebut. Baik tanggungjawab secara material, sosial dan moral. Tapi Menko Kesra Aburizal Bakrie menyatakan, ‘‘kalau misalnya memang ada ketidakpuasan dari lapindo maupun dari Group Bakrie, ajukan secara hukum, tuntut secara perdata, kan ada kerugian materiil, imateriil dan nama baik. Dan saya sebagai Menko Kesra selalu menegakkan hukum,tidak bawa secara politis’’ [Bisnis Indonesia,24/11/06].

Pernyataan Menko Kesra itu menunjukkan adanya arogansi kekuasaan. Hanya layak menjadi statement seorang Allchapone, bos mafia yang nyaris tak tersentuh hukum. Karena aparat penegak hukum di negeri itu mereka dikendalikan, untuk melindungi bisnis gelapnya. Politik hukum di negeri ini masih menempatkan hukum sebagai alat penguasa. Penegakan hukum tidak sampai menyentuh ring dua kekuasaan, pejabat setingkat Menteri. Realitasnya menunjukkan bahwa sampai hari ini belum ada pejabat setingkat Menteri menjadi tersangka, meskipun ditengarai bermasalah. Paling tinggi menjadi saksi. Kalau pun ada yang diproses, setelah ia tidak menjabat. Seperti kasus mantan Menteri Agama Said Agil Husein Al Munawar, mantan kepala BKPM Theo F. Tomion, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, baik masih dalam pemeriksaan maupun yang telah divonis pengadilan. Itu pun berbau politis, untuk memberikan citra buruk Kabinet Gotong Royong, Presiden Megawari Soekarnpoputri.

Skandal

Ketika Presiden memutuskan kasus lumpur Sidoarjo sebagai bencana, seharusnya penanganan kasus ini lebih sigap, tegas dan terukur untuk menindak penyebab bencana itu. Namun, para pihak yang kompeten menangani kasus ini tanpa kecuali aparat penegak hukum justru berkutat pada tataran berwacana. Misalnya, “ganti rugi” diubah jadi “ganti untung.” Padahal ganti rugi itu adalah hak rakyat korban lumpur yang harus segera mereka terima. Tetapi belakangan disebut bantuan. Pemelintiran kata-kata seperti ini dilakukan penguasa, bukan tanpa maksud dan tujuan. Minimal untuk memberi kesan empati penguasa terhadap penderitaan rakyatnya. Sama dengan Orde Baru, hutang luar negeri disebut bantuan, untuk memberi kesan anggaran defisit menjadi anggaran berimbang.

Keppres No. 13 Tahun 2006 tertanggal 8 September 2006 tentang pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Lumpur tak membuahkan hasil yang signifikan, korban jiwa pun berjatuhan. Selain itu malah melumpuhkan institusi Negara yaitu Kantor Kementrian Negara Lingkungan Hidup yang seharusnya melakukan audit lingkungan terhadap kinerja PT. Lapindo Brantas Inc. di Sidoarjo. Karena semua penanganan kasus itu harus dikoordinasikan dengan Tim Nasional.

Sementara Wapres Jusuf Kalla berulang kali menegaskan bahwa PT. Lapindo Brantas Inc. bertanggung jawab atas kasus lumpur itu. Ia meminta masyarakat untuk percaya, karena pemilik Lapindo adalah orang nasionalis. Tetapi pada saat yang sama proses divestasi kepemilikan PT. Lapindo Brantas Inc kepada Freehold Limited sedang berlangsung. Berbagai pernyataan dan wacana yang dilansir dari kantor Presiden dan Wakil Presiden itu sarat dengan rekayasa, mengulur-ulur waktu yang intinya untuk menyelamatkan Group Bakrie, utamanya Aburizal Bakrie dari tanggung jawab secara moral dan hukum. “Kemesraan” antara penyelenggara Negara dan PT. Lapindo Brantas Inc. tidak sesuai skenario yang mereka kehendaki, ketika Freehold Ltd. membatalkan niatnya mengambil alih PT. Lapindo Brantas Inc.

Perhimpunan Nasionalis Indonesia (Pernasindo) tanggal 2 Agustus 2006 sudah mengirim surat kepada Presiden SBY, mengingatkan bahwa kerusakan dasyat akibat keceobohan eksplorasi PT. Lapindo Brantas Inc. Baik kerusakan teknis geologis, lingkungan hidup, ekonomi, sosial, dan budaya. Surat yang ditandatangani Ketua Presidium Kwik Kian Gie dan Sekjend Sukardi Rinakit yang copynya disampaikan kepada khalayak termasuk pers, sayang tidak mendapat respon. Pernasindo mendesak kepada Presiden agar Menko Kesra Burizal Bakrie mengambil tanggung jawab moral atas kasus tersebut. Kendati secara formal tidak terkait langusng dengan PT Lapindo Brantas Inc.

Dalam hal ini, seharusnya ada empat opsi yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, meminta PT. Lapindo Brantas Inc. untuk menyelesaikan ganti rugi atas aset-aset milik warga masyarakat yang hancur dan tenggelam. Kedua, meminta PT. Lapindo Brantas Inc. untuk mempertanggung jawabkan secara moral dan hukum. Ketiga, meretul Aburizal Bakrie dari jabatannya sebagai Menko Kesra untuk menghindari konflik kepentingan. Keempat, mencabut/moratorium kontrak PT. Lapindo Brantas Inc. dan melakukan upaya paksa untuk melakukan audit lingkungan. (UU No. 22 Tahun 2001 pasal 6, ayat (2) pon C).

Orang buta dan tuli pun tahu bahwa PT. Lapindo Brantas Inc. melanggar ketentuan UU tersebut. Tetapi mengapa Pemerintah membiarkan atau tidak segera melakukan tindakan tegas dan terukur. Besar kemungkinan kegiatan eksplorasi di Banjar Panji, Sidoarjo yang mengakibatkan bencana itu syarat dengan skandal. Sejak proses untuk memperoleh izin hak kuasa pertambangan, melakukan eksplorasi dan eksploitasi gas di kawasan padat penduduk, hanya 100 meter dari jalan tol dan rel Kereta Api, hingga penanganan kasus luapan lumpur tersebut berlaur-larut hingga sekarang. (*)

0 komentar:

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com