expr:id='"post-" + data:post.id'>
Ir. H. Salahuddin Wahid
Bangsa Indonesia mengalami proses panjang dalam pembentukannya. Benih-benih yang menumbuhkan bangsa Indonesia mulai tumbuh sejak lama saat berbagai raja di sejumlah wilayah Nusantara berjuang melawan penjajah. Di beberapa tempat Belanda menggunakan politik adu domba yang ternyata amat efektif.
Kesadaran akan perlunya kerjasama dan persatuan antara warga di berbagai wilayah yang kini kita sebut Nusantara tumbuh di dalam diri banyak pemuda dari berbagai daerah yang menuntut ilmu di Jakarta, Belanda dan juga Mekkah. Sejumlah mahasiswa Indonesia di Belanda antara lain Bung Hatta, mendirikan perkumpulan yang sudah menggunakan nama Indonesia, yaitu Perhimpunan Indonesia. Mereka juga sudah menyampaikan gagasan tentang bangsa Indonesia yang ideal. Para pemuda Islam dari berbagai wilayah Nusantara yang belajar di Mekkah, berikrar di depan Ka’bah akan berjuang bersama untuk mencapai kemerdekaan.
Kongres Pemuda II 1928 mencetuskan Sumpah Pemuda yang naskahnya kita semua hafal: Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa, Indonesia. Bangsa Indonesia dengan cepat tumbuh menjadi bangsa yang kuat sehingga mampu mendirikan negara dalam waktu 17 tahun. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah akte kelahiran bangsa Indonesia dan proklamasi 17 Agustus adalah akte kelahiran negara Republik Indonesia.
Negara RI dengan UUD 1945 berubah menjadi RIS dengan UUD RIS, lalu berubah lagi menjadi negara RI dengan UUDS 1950. Dengan Dekrit 5 Juli 1959, UUD 1945 diterapkan lagi. Dengan pergantian UUD itu sebetulnya dapat dikatakan bahwa telah terjadi perubahan negara. Tetapi bangsanya tetap satu dan sama, yaitu bangsa Indonesia yang dilahirkan pada 28 Oktober 1928. Bangsa Indonesia dihormati dan mengilhami banyak bangsa untuk bertekad memperjuangkan kemerdekaan mereka. Hal itu menunjukkan martabat Bangsa Indonesia di mata bangsa dan negara lain amat tinggi. Tentu juga di mata rakyatnya sendiri.
Rezim Orde Baru yang represif telah membuat negara Republik Indonesia terlalu kuat dan bangsa Indonesia menjadi melemah. Saat Rezim Orde Baru tumbang, negara menjadi lemah dan bangsanya juga telah lemah. Bangsa dan negara/pemerintah menjadi tidak punya martabat.
Apa ukuran yang bisa dipakai untuk menilai suatu bangsa punya martabat atau tidak? Menurut penulis, bangsa bermartabat adalah bangsa yang mampu memenuhi kebutuhan warganya melalui negara yang didirikannya. Jadi keberadaan bangsa bermartabat amat ditentukan oleh martabat negara yang menjadi wahana untuk memperjuangkan cita-cita bangsa tersebut. Dan kita paham bahwa peran dan kinerja negara tidak bisa dilepaskan dari pemerintah yang menjadi penyelenggara negara.
Negara Republik Indonesia didirikan dengan tujuan mulia yang termaktub di dalam Pembukaan UUD. Alinea keempat Pembukaan UUD menyatakan bahwa Pemerintah Negara Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan juga untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Selanjutnya dinyatakan bahwa disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia di dalam Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Memajukan kesejahteraan umum berarti memajukan kesejahteraan orang banyak, memajukan kesejahteraan seluruh warga negara Indonesia di manapun mereka berada, apapun agamanya, apapun sukunya, apapun pendirian politiknya. Pengertian kesejahteraan ukurannya relatif, tetapi kita tentu paham bahwa terdapat hak dasar warga negara yang dijamin oleh UUD (pasal 28) dan UU no 39/1999, yaitu hak untuk hidup, hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan dan hak atas kebebasan berkeyakinan dan berpendapat.
Bencana akibat lumpur panas Lapindo telah menimbulkan kondisi yang mengakibatkan tidak terlindungi dan terpenuhinya hak asasi korban. Hak-hak yang terlanggar tersebut di antaranya adalah:
1. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945.
2. Hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945.
3. Hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya sebagaimana dijamin dalam Pasal 27A UUD 1945.
4. Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945.
5. Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak memperoleh layanan kesehatan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945.
6. Hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, hak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia sebagaimana dijamin dalam Pasal 28C UUD 1945.
7. Hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945.
Pasal 28 (I) UUD 1945 secara jelas mengamanatkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Untuk itu, jelas bahwa dalam kasus lumpur panas Lapindo, pemerintah harus bertanggungjawab tanpa menghilangkan tanggung jawab P.T. Lapindo Brantas.
Banyak dari mereka yang kehilangan rumah, kehilangan pekerjaan sehingga tidak bisa memperoleh makanan yang sehat dan layak. Mereka juga kehilangan suasana kehidupan keluarga yang amat berarti. Banyak dari mereka tercampak menjadi pengungsi dengan kehidupan yang amat mengenaskan. Putra-putri mereka menjadi "anak jalanan," ada yang terpaksa lalu menjadi terbiasa menyaksikan hubungan suami-isteri yang terpaksa dilakukan ditempat khusus yang agak terbuka. Bagaimana kalau pemilik dan eksekutif Lapindo mengalami nasib seperti itu. Apakah mereka tidak punya empati sama sekali?
Kita semua memahami bahwa beban keuangan Pemerintah amat berat, karena itu beban itu tidak bisa ditambahi dengan berbagai beban yang tidak perlu. Potensi beban yang akan timbul dalam kaitan kasus Lapindo ialah beban yang harus dipikul akibat bertambah luasnya daerah yang tergenang lumpur, di luar daerah yang tercantum dalam Perpres 14/2007. Tahun 2008 ini diberitakan bahwa tambahan beban itu adalah sebesar Rp. 700 milyar. Pada tahun anggaran depan pasti akan lebih besar lagi. Untuk mencegahnya, yang harus dilakukan ialah menutup sumber lumpur Lapindo.
Sejumlah insinyur ahli pengeboran yang berpengalaman di atas 30 tahun, mengemukakan pendapat bahwa sumber lumpur itu dapat ditutup dengan teknik relief well. Gagasan itu telah mereka kemukakan diberbagai kesempatan. Uraian yang cukup lengkap tentang gagasan itu dapat dibaca pada buku (Mem) Bunuh Sumur Lapindo, yang diterbitkan oleh Gerakan Menutup Sumur Lapindo (GMLL).
Tulisan singkat di media terkemuka seperti Kompas mengenai masalah itu juga sudah muncul. Artinya Pemerintah sudah memahami bahwa ada gagasan semacam itu yang dikemukakan oleh sejumlah ahli. Buku Putih Dr. Rudi Rubiandini juga sudah dikirimkan kepada Presiden SBY melalui seorang menteri, pada pertengahan Nopember 2007, lebih dari 5 bulan yang lalu.
Sampai hari ini tidak ada tanggapan dari Pemerintah terhadap usul atau gagasan itu. Hanya sejumlah ahli geologi dan juga pihak Pt. Minarak Lapindo Jaya mengatakan bahwa sudah pernah dilakukan upaya menutup sumber lumpur itu yang melibatkan juga ahli dari luar negeri. Dan ternyata upaya itu mengalami kegagalan. Karena itu upaya penutupan lumpur tidak perlu dilakukan lagi, karena akan sia-sia dan hanya menghamburkan dana. Tampaknya sikap Pemerintah membenarkan pendapat pihak Lapindo di atas.
Sejumlah insinyur ahli pengeboran seperti Ir. Robin Lubron, Ir. Mustiko Saleh dan Ir. Harry Ediarso, yang telah berpengalaman lebih dari 30 tahun dalam bidang pengeboran termasuk menghentikan semburan lumpur bawah tanah (under-ground blow out), menyatakan bahwa upaya penutupan sumber lumpur oleh PT. Minarak Lapindo Jaya itu tidak dilakukan sampai tuntas, karena rig-nya ditarik oleh pihak pemilik akibat tidak dibayar oleh Lapindo. Jadi belum dapat dikatakan bahwa upaya penutupan sumber itu telah gagal.
Tidak jelas apakah informasi yang tepat dan benar atau duduk perkara sebenarnya tentang terhentinya upaya penutupan sumber lumpur oleh Lapindo itu diketahui oleh Pemerintah. Kalau informasi itu tidak atau belum diketahui, kita patut berharap bahwa informasi ini akan sampai ke tangan Pemerintah sehingga membuat pengambil keputusan mendukung gagasan upaya penutupan sumber lumpur yang diusulkan oleh para ahli pemboran itu.
Kita melihat adanya perbedaan pendapat antara dua kelompok ahli. Kelompok pertama, umumnya terdiri dari para ahli geologi, menyatakan bahwa apa yang terjadi di dalam kasus Lapindo adalah bencana alam dan upaya penutupan sumber lumpur itu akan sia-sia. Kelompok kedua umumnya terdiri dari para ahli pemboran (drilling engineers), yang menyatakan bahwa kasus Lapindo bukanlah bencana alam tetapi karena kesalahan manusia (manajemen dan tenaga ahli Lapindo). Fakta ini didukung oleh penelitian Profesor Richard Davies dari Universitas Durham, bersama sejumlah ahli dari Indonesia, Australia dan Amerika Serikat.
Sebagai ahli pengeboran berpengalaman puluhan tahun, mereka berpendapat bahwa kasus Lapindo ini adalah wilayah kerja ahli pengeboran, bukan wilayah kerja ahli geologi. Harry Ediarso mengatakan bahwa dia berdiam diri tidak berkomentar apapun lebih dari setahun, tetapi merasa tidak bisa berdiam diri lebih lama lagi dan karenanya dia harus menyatakan kebenaran ilmiah yang dia yakini.
Para ahli pengeboran berpengalaman puluhan tahun itu merasa yakin bahwa upaya penutupan sumber lumpur itu akan berhasil, tanpa melibatkan ahli dari luar negeri. Mereka sudah menyelesaikan banyak masalah seperti itu. Ir. Robin Lubron bahkan berani membuat pernyataan bahwa dia bersedia dimasukkan penjara, kalau dia gagal dalam upaya itu. Ir. Mustiko Saleh, yang pernah menjabat Wakil Dirut Pertamina, menceritakan pengalamannya pada awal 1980-an, saat dia menjalankan tugas di Pertamina Sumatera Utara. Terjadi semburan dahsyat yang menimbulkan kebisingan luar biasa, sekitar dua kali suara pesawat Boeing 747.
Waktu itu, pimpinan unit menyatakan akan mengundang Red Adair (USA) untuk mengatasi masalah itu, tetapi Mustiko Saleh menyatakan sanggup mengatasi dan atasannya itu langsung menyetujui setelah menegaskan kesanggupan Ir. Mustiko Saleh. Ternyata dia berhasil dan timnya berhasil mengatasi masalah itu. Sikap atasan Mustiko Saleh itu adalah sikap pimpinan yang bermartabat, yang mempercayai kemampuan anak buahnya dan mampu mengambil keputusan yang tepat dalam waktu yang tidak lama.
Anak bangsa yang telah berhasil mengembangkan potensi dan kemampuan mereka melalui pendidikan dan pengalaman baik di dalam negeri maupun luar negeri, amat banyak jumlahnya. Banyak juga anak bangsa yang dimanfaatkan bangsa dan negara lain dalam berbagai kegiatan, teknologi, keuangan, manajemen, bisnis, dan lain-lain. Salah satu dari kemampuan anak bangsa yang kita miliki adalah di dalam bidang teknik pengeboran (drilling engineering), yang prestasinya diuraikan secara singkat di dalam buku ini.
Bagaimana Pemerintah harus menyikapi pertentangan pendapat antara dua kelompok di atas, antara yang menyatakan bahwa sumber lumpur itu dapat ditutup dengan pendapat sebaliknya? Para ahli pemboran menyatakan bahwa itu adalah wilayah kerja mereka, bukan wilayah kerja ahli geologi. Pihak mana yang harus dipercayai Pemerintah? Para insinyur ahli pemboran itu dengan dasar pengalaman selama puluhan tahun merasa yakin akan dapat menutup sumber lumpur itu.
Bangsa yang bermartabat atau Pemerintah yang bermartabat adalah Pemerintah yang percaya kepada kemampuan yang dimiliki anak bangsa di dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang pengeboran dengan pengalaman selama puluhan tahun. Adanya pihak yang ragu terhadap upaya itu, atau tidak merasa mampu melakukannya, tidak perlu membuat Pemerintah merasa ragu terhadap kemampuan anak bangsa yang sudah terbukti dengan pengalaman panjang.
Dr. Tjuk Sukiadi, pengajar di FE Unair membuat analogi yang tepat tentang situasi yang dihadapi Pemerintah. Seandainya anak kita sakit parah dan hampir meninggal dan ada dua kelompok dokter bertentangan pendapat. Pihak pertama mengatakan bahwa masih ada terapi yang perlu dicoba dan pihak kedua mengatakan tidak ada harapan. Sebagai orang tua pasti kita harus mencoba terapi itu. Kita pasti merasa bersalah bahkan berdosa kalau tidak mencoba terapi itu. Adalah sikap yang tidak bertanggungjawab dan tidak bermartabat kalau kita tidak memberi kesempatan kepada anak bangsa yang berprestasi untuk mencoba menutup sumber lumpur itu dan membiarkan makin luasnya daerah dan juga bertambahnya warga yang jadi korban. (*)
Read More......