');

“BUNUH SUMUR LAPINDO”

expr:id='"post-" + data:post.id'>

Sumur Lapindo bisa dibunuh. Pertanyaannya adalah siapa yang harus membunuh? Ilmuwan yang mengerti medan masalah mengatakan bahwa lumpur itu bisa dihentikan dengan biaya tertentu. Tetapi ada pula wacana yang dikembangkan bahwa penghentian itu tidak mungkin, karena ini merupakan kehendak alam. Akibat silang pendapat ini, rakyat banyak menjadi bingung, sementara pengungsi di Pasar Baru Porong menjadi semakin tidak berdaya. Sudah berkali dikatakan bahwa sejak kita merdeka, hampir tidak pernah ada pemerintah kita yang benar-benar membuat kebijakan yang pro-rakyat miskin, rakyat terlantar. Padahal Bung Karno dalam pidato yang kemudian dikenal dengan Lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945 menegaskan potongan kalimat ini: “… tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka.” Kemiskinan selalu membuahkan penderitaan. Tetapi penderitaan Porong adalah akibat langsung dari perencanaan pengeboran yang tidak cermat dari pihak Lapindo. Karena itu kita yakin bahwa di sini kemudian sudah bermain kalkulasi dagang dan politik tanpa hirau terhadap penderitaan rakyat.

Kita menilai pemerintah tidak serius dalam menangani bencana Lapindo ini. Artinya sebuah negara yang ditegakkan di atas nilai-nilai Pancasila yang luhur dan agung di tangan penguasa yang tidak peka dan tidak tanggap, akibatnya adalah serba ketidakpastian yang membawa penderitaan bagi rakyat yang dihimpit bencana. Jika memang lumpur Lapindo bisa disumbat berdasarkan perhitungan teknologi mutakhir, mengapa pemerintah tidak memaksa pihak perusahaan untuk melakukannya? Bukankah pemerintah adalah sebuah kekuatan pemaksa secara konstitusional terhadap mereka yang tidak patuh? Jika paksaan ini tidak dilaksanakan, padahal kekuasaan ada di tangan, maka tidak ada kesimpulan lain kecuali bahwa pada pemerintah memang tidak punya wibawa, apa pun pertimbangan yang melatarbelakanginya.

Buku yang ada di tangan Anda ini mencoba menjelaskan kepada publik bahwa bencana Lapindo bukan bencana alam, tetapi bencana akibat kecerobohan manusia.

Oleh sebab itu pihak penyebab bencana wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga penderitaan rakyat dapat segera diatasi. Syaratnya hanya satu: harus ada kemauan politik dan keberanian dari pihak pemerintah untuk menunjukkan giginya sebagai pemaksa terhadap mereka yang ingkar. Gunakanlah keberanian hati nurani dan akal sehat, demi menegakkan konstitusi. Penderitaan rakyat kecil harus menjadi bagian dari penderitaan kita semua. Tanpa perasaan yang semacam itu, negeri ini akan tetap saja terobang-ambing oleh berbagai tarikan kepentingan rendahan yang menjadikan negara tidak berkutik.

Read More......

BERGELIMANG DALAM BUDAYA KUMUH

expr:id='"post-" + data:post.id'>

Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, susunan J.S. Badudu-Sutan Mohammad Zain (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), perkataan “kumuh” mengandung tiga makna: 1. kotor; 2. kotor dan tidak teratur, tampak mesum; 3. keji. Untuk makna pertama, contoh kalimat yang diberikan adalah: “mukanya kumuh benar, cucilah dulu”; kedua, “perkampungan yang kumuh”; ketiga, “kelakuan keji yang dipertunjukkannya sungguh memuakkan.” Rasanya ketiga makna yang mirip itu telah lama membebani kultur Indonesia modern, apakah itu dalam politik, ekonomi, sosial, dan moral.

Ke mana pun kita bergerak, budaya kumuh itu sangat dirasakan dan terus dipergunjingkan orang dari desa sampai ke kota. Di kedai-kedai kecil di perkampungan, di atas pesawat, di hotel-hotel mewah, dalam simposium dan seminar, bahkan di dangau-dangau sawah, kekumuhan itu tetap menjadi topik pembicaraan. Memang baru pada tingkat “pembicaraan,” perbaikannya pasti memerlukan waktu lama, sampai bangsa benar-benar menjadi bangsa siuman. Setidak-tidaknya, kita masih punya warga yang muak dengan segala bentuk kekumuhan ini, sekalipun tidak tahu cara bagaimana yang efektif untuk terlepas dari cengkeramannya. Sungguh sulit sekali. Diperlukan energi eksra dan stamina spiritual yang prima untuk melawannya.

Sekarang ini masih saja ramai dibicarakan tentang jaksa yang tertangkap tangan saat menerima sogok, anggota DPR yang idem dito, kapolsek yang “nyabu,” ujian yang bocor, si anu yang selingkuh dan tanpa rasa malu malah digelar dalam acara tv, dan 1001 contoh kumuh yang tidak pernah kering untuk diungkap. Kita sangat kaya dengan bermacam corak kekumuhan ini. Ketika KPK hendak menggeledah ruang kerja anggota DPR, Bung Agung Laksono, ketua dewan, tampil ke muka untuk melawannya. Bahkan ada anggota DPR yang mengusulkan agar KPK dibubarkan saja karena dinilai sudah overacting. Tetapi tampaknya KPK tetap saja bergerak tanpa menghiraukan perlawanan yang datang bertubi-tubi itu. Sebagai salah seorang yang turut membidani lahirnya pimpinan KPK yang sekarang ini, pesan penulis tunggal: terus saja bergerak, tetapi jangan sampai tebang pilih. Menegakkan hukum, risikonya memang besar: dicaci-maki, dimusuhi, bahkan tidak mustahil dibunuh.

Dalam lingkungan budaya kotor, mesum, dan keji, kejahatan merajalela, aparat penegak hukum seperti tidak berdaya, uang maha kuasa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian aparat penegak hukum itu telah pula bergelimang dan larut dalam budaya kumuh itu dan bahkan bersahabat dengan penjahat, demi uang. Oleh sebab itu, Anda jangan terlalu berharap masalah BLBI atau kasus lumpur Lapindo akan tuntas dalam beberapa tahun ini, jika pimpinan negara tetap saja dalam keraguan untuk bertindak, sementara sebagian aparat penegak hukum tidak bisa membebaskan dirinya dari lingkungan yang keji dan kumuh itu.

Dari sekian budaya kumuh yang tampak telanjang di depan mata, kasus lumpur Lapindo penulis kira adalah puncak dari kekejian terhadap moral. Dua tahun sudah korban petaka ini disimpang siurkan oleh berbagai kebohongan. Dua tahun sudah warga Bumi Jenggala terluka akibat tidak diperhatikan dan dipelihara oleh negara. Apa kata dunia, teriak Nagabonar, melihat ketidakberdayaan negara di depan korporat, menyaksikan martabat bangsa merosot ke titik nadir. Sementara, di luar peta semburan, si empunya lumpur justru semakin sejahtera bahkan dinobatkan sebagai orang terkaya se-Indonesia. Padahal, seharusnya Lapindo dan pemiliknya bertanggung jawab atas semua kesalahan yang diperbuatnya.[1]

Lalu, kepada siapa bangsa ini harus mengadu? Tidak kepada siapa-siapa, kecuali kepada kekuatan moral yang masih tersisa dalam kultur kita. Kita jangan tenggelam dalam keputusasaan. Orang baik masih ada di mana-mana, sekalipun surga dan neraka juga bertetangga. Inilah dunia Bung. Kita tidak bisa lari dari lingkungan yang serba kusam itu. Usul fiqh mengajarkan tentang “akhaffu al-dhararain” (pilih yang paling ringan daya rusaknya), pada saat kita dihadapkan kepada lingkungan budaya yang busuk. Jelas tidak selalu mudah. Pada sebuah unit kerja misalnya, seseorang yang masih berupaya bertahan dalam idealisme, bisa saja tersingkir, disisihkan oleh penganut filosofi mumpungisme, jika tidak sekarang, kapan lagi. Tokh sebagian wakil rakyat, sebagian aparat penegak hukum, jangan ditanya lagi pengusaha hitam, telah lama bergelimang dalam kubangan yang keruh-pekat ini. Pamor sementara kyai pun sudah merosot drastis karena rebutan posisi kekuasaan. Sekali agama dijadikan alat pembenar kekuasaan, risikonya hanya satu: kerusakan. Al-Qur’an menggunakan istilah al-fasād fī al-ardh (kerusakan di muka bumi). Korupsi adalah salah satu bentuk kerusakan yang terparah di Indonesia. Yang rumit adalah bahwa para perusak itu merasa berbuat baik dan dipercaya pula oleh sebagian orang sebagai manusia baik. Mereka sepintas lalu seperti layaknya para dermawan, semata-mata untuk menyembunyikan prilaku jahatnya. “Lā tufsidū fī al-ardh, qālū innamā nahnu mushlihūn”/Janganlah kalian melakukan kerusakan di muka bumi, jawab mereka: “Kami justru adalah orang-orang yang membangun perbaikan.” (Al-Baqarah: 11).

Penulis yakin bahwa bangsa ini masih bisa dibenahi dengan syarat agar orang-orang baik dan berani harus ke luar kandang dan terus berteriak: hentikan kerusakan, hentikan kebinasaan. Jihad melawan kerusakan adalah jihad sejati. Jangan biarkan bangsa ini menjadi puing peradaban.(*)



[1] Headline Koran Jakarta, Kamis, 24 Juli 2008.

Read More......

BANGSA BERMARTABAT

expr:id='"post-" + data:post.id'>

Ir. H. Salahuddin Wahid

Bangsa Indonesia mengalami proses panjang dalam pembentukannya. Benih-benih yang menumbuhkan bangsa Indonesia mulai tumbuh sejak lama saat berbagai raja di sejumlah wilayah Nusantara berjuang melawan penjajah. Di beberapa tempat Belanda menggunakan politik adu domba yang ternyata amat efektif.

Kesadaran akan perlunya kerjasama dan persatuan antara warga di berbagai wilayah yang kini kita sebut Nusantara tumbuh di dalam diri banyak pemuda dari berbagai daerah yang menuntut ilmu di Jakarta, Belanda dan juga Mekkah. Sejumlah mahasiswa Indonesia di Belanda antara lain Bung Hatta, mendirikan perkumpulan yang sudah menggunakan nama Indonesia, yaitu Perhimpunan Indonesia. Mereka juga sudah menyampaikan gagasan tentang bangsa Indonesia yang ideal. Para pemuda Islam dari berbagai wilayah Nusantara yang belajar di Mekkah, berikrar di depan Ka’bah akan berjuang bersama untuk mencapai kemerdekaan.

Kongres Pemuda II 1928 mencetuskan Sumpah Pemuda yang naskahnya kita semua hafal: Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa, Indonesia. Bangsa Indonesia dengan cepat tumbuh menjadi bangsa yang kuat sehingga mampu mendirikan negara dalam waktu 17 tahun. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah akte kelahiran bangsa Indonesia dan proklamasi 17 Agustus adalah akte kelahiran negara Republik Indonesia.

Negara RI dengan UUD 1945 berubah menjadi RIS dengan UUD RIS, lalu berubah lagi menjadi negara RI dengan UUDS 1950. Dengan Dekrit 5 Juli 1959, UUD 1945 diterapkan lagi. Dengan pergantian UUD itu sebetulnya dapat dikatakan bahwa telah terjadi perubahan negara. Tetapi bangsanya tetap satu dan sama, yaitu bangsa Indonesia yang dilahirkan pada 28 Oktober 1928. Bangsa Indonesia dihormati dan mengilhami banyak bangsa untuk bertekad memperjuangkan kemerdekaan mereka. Hal itu menunjukkan martabat Bangsa Indonesia di mata bangsa dan negara lain amat tinggi. Tentu juga di mata rakyatnya sendiri.

Rezim Orde Baru yang represif telah membuat negara Republik Indonesia terlalu kuat dan bangsa Indonesia menjadi melemah. Saat Rezim Orde Baru tumbang, negara menjadi lemah dan bangsanya juga telah lemah. Bangsa dan negara/pemerintah menjadi tidak punya martabat.

Apa ukuran yang bisa dipakai untuk menilai suatu bangsa punya martabat atau tidak? Menurut penulis, bangsa bermartabat adalah bangsa yang mampu memenuhi kebutuhan warganya melalui negara yang didirikannya. Jadi keberadaan bangsa bermartabat amat ditentukan oleh martabat negara yang menjadi wahana untuk memperjuangkan cita-cita bangsa tersebut. Dan kita paham bahwa peran dan kinerja negara tidak bisa dilepaskan dari pemerintah yang menjadi penyelenggara negara.

Negara Republik Indonesia didirikan dengan tujuan mulia yang termaktub di dalam Pembukaan UUD. Alinea keempat Pembukaan UUD menyatakan bahwa Pemerintah Negara Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan juga untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Selanjutnya dinyatakan bahwa disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia di dalam Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Memajukan kesejahteraan umum berarti memajukan kesejahteraan orang banyak, memajukan kesejahteraan seluruh warga negara Indonesia di manapun mereka berada, apapun agamanya, apapun sukunya, apapun pendirian politiknya. Pengertian kesejahteraan ukurannya relatif, tetapi kita tentu paham bahwa terdapat hak dasar warga negara yang dijamin oleh UUD (pasal 28) dan UU no 39/1999, yaitu hak untuk hidup, hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan dan hak atas kebebasan berkeyakinan dan berpendapat.

Bencana akibat lumpur panas Lapindo telah menimbulkan kondisi yang mengakibatkan tidak terlindungi dan terpenuhinya hak asasi korban. Hak-hak yang terlanggar tersebut di antaranya adalah:

1. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945.

2. Hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945.

3. Hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya sebagaimana dijamin dalam Pasal 27A UUD 1945.

4. Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945.

5. Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak memperoleh layanan kesehatan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945.

6. Hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, hak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia sebagaimana dijamin dalam Pasal 28C UUD 1945.

7. Hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945.

Pasal 28 (I) UUD 1945 secara jelas mengamanatkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Untuk itu, jelas bahwa dalam kasus lumpur panas Lapindo, pemerintah harus bertanggungjawab tanpa menghilangkan tanggung jawab P.T. Lapindo Brantas.

Banyak dari mereka yang kehilangan rumah, kehilangan pekerjaan sehingga tidak bisa memperoleh makanan yang sehat dan layak. Mereka juga kehilangan suasana kehidupan keluarga yang amat berarti. Banyak dari mereka tercampak menjadi pengungsi dengan kehidupan yang amat mengenaskan. Putra-putri mereka menjadi "anak jalanan," ada yang terpaksa lalu menjadi terbiasa menyaksikan hubungan suami-isteri yang terpaksa dilakukan ditempat khusus yang agak terbuka. Bagaimana kalau pemilik dan eksekutif Lapindo mengalami nasib seperti itu. Apakah mereka tidak punya empati sama sekali?

Kita semua memahami bahwa beban keuangan Pemerintah amat berat, karena itu beban itu tidak bisa ditambahi dengan berbagai beban yang tidak perlu. Potensi beban yang akan timbul dalam kaitan kasus Lapindo ialah beban yang harus dipikul akibat bertambah luasnya daerah yang tergenang lumpur, di luar daerah yang tercantum dalam Perpres 14/2007. Tahun 2008 ini diberitakan bahwa tambahan beban itu adalah sebesar Rp. 700 milyar. Pada tahun anggaran depan pasti akan lebih besar lagi. Untuk mencegahnya, yang harus dilakukan ialah menutup sumber lumpur Lapindo.

Sejumlah insinyur ahli pengeboran yang berpengalaman di atas 30 tahun, mengemukakan pendapat bahwa sumber lumpur itu dapat ditutup dengan teknik relief well. Gagasan itu telah mereka kemukakan diberbagai kesempatan. Uraian yang cukup lengkap tentang gagasan itu dapat dibaca pada buku (Mem) Bunuh Sumur Lapindo, yang diterbitkan oleh Gerakan Menutup Sumur Lapindo (GMLL).

Tulisan singkat di media terkemuka seperti Kompas mengenai masalah itu juga sudah muncul. Artinya Pemerintah sudah memahami bahwa ada gagasan semacam itu yang dikemukakan oleh sejumlah ahli. Buku Putih Dr. Rudi Rubiandini juga sudah dikirimkan kepada Presiden SBY melalui seorang menteri, pada pertengahan Nopember 2007, lebih dari 5 bulan yang lalu.

Sampai hari ini tidak ada tanggapan dari Pemerintah terhadap usul atau gagasan itu. Hanya sejumlah ahli geologi dan juga pihak Pt. Minarak Lapindo Jaya mengatakan bahwa sudah pernah dilakukan upaya menutup sumber lumpur itu yang melibatkan juga ahli dari luar negeri. Dan ternyata upaya itu mengalami kegagalan. Karena itu upaya penutupan lumpur tidak perlu dilakukan lagi, karena akan sia-sia dan hanya menghamburkan dana. Tampaknya sikap Pemerintah membenarkan pendapat pihak Lapindo di atas.

Sejumlah insinyur ahli pengeboran seperti Ir. Robin Lubron, Ir. Mustiko Saleh dan Ir. Harry Ediarso, yang telah berpengalaman lebih dari 30 tahun dalam bidang pengeboran termasuk menghentikan semburan lumpur bawah tanah (under-ground blow out), menyatakan bahwa upaya penutupan sumber lumpur oleh PT. Minarak Lapindo Jaya itu tidak dilakukan sampai tuntas, karena rig-nya ditarik oleh pihak pemilik akibat tidak dibayar oleh Lapindo. Jadi belum dapat dikatakan bahwa upaya penutupan sumber itu telah gagal.

Tidak jelas apakah informasi yang tepat dan benar atau duduk perkara sebenarnya tentang terhentinya upaya penutupan sumber lumpur oleh Lapindo itu diketahui oleh Pemerintah. Kalau informasi itu tidak atau belum diketahui, kita patut berharap bahwa informasi ini akan sampai ke tangan Pemerintah sehingga membuat pengambil keputusan mendukung gagasan upaya penutupan sumber lumpur yang diusulkan oleh para ahli pemboran itu.

Kita melihat adanya perbedaan pendapat antara dua kelompok ahli. Kelompok pertama, umumnya terdiri dari para ahli geologi, menyatakan bahwa apa yang terjadi di dalam kasus Lapindo adalah bencana alam dan upaya penutupan sumber lumpur itu akan sia-sia. Kelompok kedua umumnya terdiri dari para ahli pemboran (drilling engineers), yang menyatakan bahwa kasus Lapindo bukanlah bencana alam tetapi karena kesalahan manusia (manajemen dan tenaga ahli Lapindo). Fakta ini didukung oleh penelitian Profesor Richard Davies dari Universitas Durham, bersama sejumlah ahli dari Indonesia, Australia dan Amerika Serikat.

Sebagai ahli pengeboran berpengalaman puluhan tahun, mereka berpendapat bahwa kasus Lapindo ini adalah wilayah kerja ahli pengeboran, bukan wilayah kerja ahli geologi. Harry Ediarso mengatakan bahwa dia berdiam diri tidak berkomentar apapun lebih dari setahun, tetapi merasa tidak bisa berdiam diri lebih lama lagi dan karenanya dia harus menyatakan kebenaran ilmiah yang dia yakini.

Para ahli pengeboran berpengalaman puluhan tahun itu merasa yakin bahwa upaya penutupan sumber lumpur itu akan berhasil, tanpa melibatkan ahli dari luar negeri. Mereka sudah menyelesaikan banyak masalah seperti itu. Ir. Robin Lubron bahkan berani membuat pernyataan bahwa dia bersedia dimasukkan penjara, kalau dia gagal dalam upaya itu. Ir. Mustiko Saleh, yang pernah menjabat Wakil Dirut Pertamina, menceritakan pengalamannya pada awal 1980-an, saat dia menjalankan tugas di Pertamina Sumatera Utara. Terjadi semburan dahsyat yang menimbulkan kebisingan luar biasa, sekitar dua kali suara pesawat Boeing 747.

Waktu itu, pimpinan unit menyatakan akan mengundang Red Adair (USA) untuk mengatasi masalah itu, tetapi Mustiko Saleh menyatakan sanggup mengatasi dan atasannya itu langsung menyetujui setelah menegaskan kesanggupan Ir. Mustiko Saleh. Ternyata dia berhasil dan timnya berhasil mengatasi masalah itu. Sikap atasan Mustiko Saleh itu adalah sikap pimpinan yang bermartabat, yang mempercayai kemampuan anak buahnya dan mampu mengambil keputusan yang tepat dalam waktu yang tidak lama.

Anak bangsa yang telah berhasil mengembangkan potensi dan kemampuan mereka melalui pendidikan dan pengalaman baik di dalam negeri maupun luar negeri, amat banyak jumlahnya. Banyak juga anak bangsa yang dimanfaatkan bangsa dan negara lain dalam berbagai kegiatan, teknologi, keuangan, manajemen, bisnis, dan lain-lain. Salah satu dari kemampuan anak bangsa yang kita miliki adalah di dalam bidang teknik pengeboran (drilling engineering), yang prestasinya diuraikan secara singkat di dalam buku ini.

Bagaimana Pemerintah harus menyikapi pertentangan pendapat antara dua kelompok di atas, antara yang menyatakan bahwa sumber lumpur itu dapat ditutup dengan pendapat sebaliknya? Para ahli pemboran menyatakan bahwa itu adalah wilayah kerja mereka, bukan wilayah kerja ahli geologi. Pihak mana yang harus dipercayai Pemerintah? Para insinyur ahli pemboran itu dengan dasar pengalaman selama puluhan tahun merasa yakin akan dapat menutup sumber lumpur itu.

Bangsa yang bermartabat atau Pemerintah yang bermartabat adalah Pemerintah yang percaya kepada kemampuan yang dimiliki anak bangsa di dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang pengeboran dengan pengalaman selama puluhan tahun. Adanya pihak yang ragu terhadap upaya itu, atau tidak merasa mampu melakukannya, tidak perlu membuat Pemerintah merasa ragu terhadap kemampuan anak bangsa yang sudah terbukti dengan pengalaman panjang.

Dr. Tjuk Sukiadi, pengajar di FE Unair membuat analogi yang tepat tentang situasi yang dihadapi Pemerintah. Seandainya anak kita sakit parah dan hampir meninggal dan ada dua kelompok dokter bertentangan pendapat. Pihak pertama mengatakan bahwa masih ada terapi yang perlu dicoba dan pihak kedua mengatakan tidak ada harapan. Sebagai orang tua pasti kita harus mencoba terapi itu. Kita pasti merasa bersalah bahkan berdosa kalau tidak mencoba terapi itu. Adalah sikap yang tidak bertanggungjawab dan tidak bermartabat kalau kita tidak memberi kesempatan kepada anak bangsa yang berprestasi untuk mencoba menutup sumber lumpur itu dan membiarkan makin luasnya daerah dan juga bertambahnya warga yang jadi korban. (*)

Read More......

KASUS LAPINDO DAN KEALPAAN NEGARA

expr:id='"post-" + data:post.id'>

Dr. Hendarmin Ranadireksa

“ … Setiap orang berhak mempunyai milik pribadi dan hak milik pribadi tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun...” (Pasal 28 H, 4, UUD 1945–Amandemen IV). ”... Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia...” (cuplikan kalimat dalam Pembukaan UUD 1945). Namun apa yang kita lihat hingga kini?

Andaikan Francis Fukuyama (2004) mencari contoh bentuk kelemahan negara dalam perannya di dalam masyarakat, keputusan pemerintah dalam penanganan kasus lumpur Lapindo, mungkin dapat menjadi salah satu rujukan konkretnya (Kompas, 27/2). Dalam kasus ini terkesan kuat negara tidak memiliki kekuasaan memaksa yang memungkinkan masyarakat dapat dilindungi hak milik pribadi dan penggantian atas kerugian yang dideritanya.

Tuntutan korban bencana agar PT. Lapindo membayar ganti rugi 100% terbentur pada kesanggupan perusahaan yang hanya mampu membayar bertahap (20% setelah korban menyerahkan bukti-bukti yang sah secara hukum dan hanya 80% sisanya diangsur). Yang memprihatinkan, pemerintah bukannya berusaha memperkuat posisi tawar korban bencana melainkan ikut giat menghitung kerugian (rel KA, jalan tol rusak, pipa air patah). Pemerintah terkesan ingin menempatkan diri sebagai sesama korban bencana yang karenanya berhak memperoleh ganti rugi sebagaimana korban.

Sementara, meluasnya wilayah genangan akibat semburan lumpur panas yang berkapasitas ± 100.000 M3 per/hari dengan perkiraan total volume mencapai 1.155 miliar M3 yang diperkirakan berlangsung hingga tiga puluh satu tahun, terus menghantui penduduk dan wilayah sekitar (Walhi, Oktober 2006). Sungguh dahsyat sekaligus mengerikan.

Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rahmat Witoelar benar ketika menyatakan bahwa kasus lumpur Lapindo adalah force majeure yang penanganannya tidak bisa lagi menggunakan kaidah-kaidah normal.[1] Melihat besar dan luasnya ancaman akibat bencana tidak bisa tidak status bencana sudah harus masuk kategori ”Bencana Nasional.” Artinya, penyelesaian bencana tidak semata oleh eksekutif namun harus pada tingkat Negara. Seluruh unsur penyelenggara negara seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, birokrasi, kepolisian, tidak terkecuali militer harus terlibat dan dilibatkan (maka kurang pada tempatnya DPR melakukan interpelasi pada pemerintah seakan kewajiban penanganan kasus hanya pada pundak pemerintah). Demi persyaratan legal dan legitimate Presiden, selaku Kepala Negara, perlu mengumumkan secara resmi status bencana.

Dengan modus tersebut, urutan prioritas langkah penanggulangan menjadi jelas Maka hal-hal yang perlu dilakukan antara lain; pertama, hentikan segera negosiasi tidak berujung antara korban bencana dengan swasta penyebab bencana. Kasus ini bukan sengketa warga dengan swasta, bukan kasus perdata. Pemberi izin pengeboran dan pengawas pelaksanaan pekerjaan adalah Pemerintah cq. Negara. Dus, Negara harus bertanggungjawab. Kedua, Negara segera mengambilalih tanggungjawab atas keselamatan dan gantirugi korban bencana. Pembayaran bisa dilakukan dua tahap. Pertama, tahap darurat. Sementara menunggu angka pasti jumlah total ganti rugi layak yang bisa dipertanggungjawabkan, Negara (bukan swasta penyebab bencana) menalangi kebutuhan hidup dan kehidupan warga. Kedua, Negara membayar gantirugi menyeluruh yang dengan itu masyarakat korban mulai bisa memulai kembali kehidupan normalnya (angka kerugian bisa diperoleh dari perusahaan penilai independen yang ditugaskan negara).

Melihat besarnya skala bencana, mustahil tanpa revisi APBN. Maka diperlukan kesadaran legislatif dan eksekutif tingkat pusat dan daerah untuk menghapus program yang kurang perlu (semisal studi banding, pembelian laptop, mobil dinas baru, kenaikan gaji atau tunjangan). Tidak menutup kemungkinan, mencari pinjaman luar negeri. Ketiga, Negara bertindak terhadap penyebab bencana. Walau bukan unsur kesengajaan, penyebab bencana harus tetap dinyatakan bersalah karena perbuatannyalah ribuan warga menderita, lingkungan hidup rusak, dan terjadi kerugian negara. Negara harus tegas melaksanakan fungsinya selaku Pemegang Kedaulatan yang kekuasaannya mendekati mutlak itu (Leviathan, kata Thomas Hobbes). Yudikatif harus proaktif dengan secepatnya menetapkan status hukum penyebab bencana. Perlu payung hukum bagi Negara untuk menutup kegiatan dan atau menyita kekayaan penyebab bencana.

Keempat, Partai politik perlu bersikap terhadap korban (yang mungkin konstituennya juga) dan terhadap PT. Lapindo (mengapa mereka bisu terhadap kasus ini?). Kelima, Peran LSM perlu diteruskan bahkan pada tempatnya ditingkatkan. Keenam, Universitas perlu menyumbangkan pandangan akademisnya berupa usulan teknis, konsepsional, dan komprehensif untuk mengatasi penyebab dan dampak bencana. Di sini parpol, LSM, dan universitas berfungsi sebagai katalisator. Tanpa langkah-langkah tersebut maka permasalahan dari waktu ke waktu akan terus berakumulasi. Harus dihindari kesan bahwa dalam kasus Lapindo telah terjadi kealpaan, yakni kealpaan Negara. (*)



[1] Koran Tempo, 28 September 2006.

Read More......

SIRNANYA MARTABAT BANGSA

expr:id='"post-" + data:post.id'>

Letjend TNI Marinir (Purn.) Suharto

Sirnanya martabat (kehormatan) sebuah bangsa merupakan sisi outcomes dari tindakan bodoh dan pembodohan oleh bangsa itu. Awalnya dimulai dari keruntuhan nurani lalu berbuat kebohongan dan tanpa disadari berbuat khianat terhadap dirinya sendiri.

Runtuhnya nurani adalah sebuah kondisi yang terukur pada rentang redup sampai dengan gelapnya cahaya dari perasaan hati yang murni. Kondisi seperti ini rawan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat atau kelompok manusia manapun yang terhanyut dalam romantisme kondisi itu akan menjadi khianat bila memperoleh dinamisasi kebohongan. Orang bijak berkata: Kebohongan berakibat kebodohan dan kebodohan berakibat ketidakjelasan arah yang menghasilkan outcomes hilangnya martabat dan ujungnya bermuara kepada desintegrasi sebuah bangsa.

Pada buku (mem) Bunuh Sumur Lapindo terbitan yang lalu, tampak nyata menggambarkan bahwa Lapindo melakukan awal kebohongan kecil untuk melindungi diri lalu dilanjutkan dengan kebohongan besar yang sekarang menjebaknya. Perbuatan itu dilakukan secara terukur dan sistematis dengan cara eksplorasi dan eksploitasi koneksi nalar dan emosi dengan menggunakan industri periklanan dan lebih muthakir lagi dengan operasi sosial politik. Kebohongan sebagai sebuah komoditi bisa dikemas efektif dengan memanfaatkan fabilitas (pemahaman yang tidak sempurna pada manusia) Hasilnya adalah realitas bisa menjadi berbeda dari yang kita pahami. Hasil dari komoditi bohong ini terjadi karena kita menerima informasi pada lebar pita (band width) 1 juta sementara kesadaran kita beroperasi pada lebar pita 40. Pemrosesannya memakan waktu sekitar setengah detik, maka kesadaran kita tertinggal selama itu dibelakang realitas.

Komoditi bohong inilah yang memicu semakin runtuhnya nurani berbangsa dan bernegara pada kalangan masyarakat dan ternyata sudah merambah pula pada institusi intelektual dan lembaga demokrasi hasil reformasi meliputi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sekarang menjadi tampak jelas betapa rendahnya martabat bangsa ini, Quo Vadis Bangsa dan Negara ini?

Sekarang kita lihat Lapindo terjerat untuk berbohong terus demi mempertahankan “greget haus mengeruk rezeki”. Greget ini merupakan ciri khas dari neokapitalisme. Di sini tidak menutup kemungkinan bahwa Lapindo adalah komprador yang mengemban misi neoliberalisme dan neokapitalisme bagi kepentingan asing yang mengisi globalisasi menyentuh negara dan bangsa–bangsa yang miskin. Selanjutnya untuk mengetahui seberapa jauh akibat dari ulah dan sepak terjang dari Lapindo ini, kita perlu mengukurnya dengan UUD 1945, Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1. Pasal 24 UUD 1945 berbunyi: Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ulah di dalam kasus Lapindo bisa diukur dengan syariat agama antara lain dengan agama Islam atau Nasrani.

a. Agama Islam, QS. 17 AL ISRA 35, Dan penuhilah takaran bila menakar dan timbanglah secara jujur. Cara inilah yang terbaik dan akibatnya pun paling baik pula.

b. Agama Nasrani, Injil. KELUARAN 20, 15–16: Jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu.

c. Lapindo tidak penuhi takaran yang sudah ditentukan dan tidak menimbangnya dengan jujur. Akibatnya terjadi derita dan sengsara seperti apa yang kita lihat sekarang, Lapindo tidak penuhi: Drilling Operation Best Practice, kualitas SDM yang baik dan kualitas alat peralatan yang tepat. Selain itu, Lapindo Tidak Jujur; mempertimbangkan lokasi pengeboran karena mengabaikan Meijn Politie Reglement 1930, dan dalam menetapkan Chain of command, serta dalam memenuhi kredibilitas pembayaran.

Kesemua ini disebabkan nuraninya sudah runtuh sebelum memulai kerja dan cahayanya sudah digelapkan oleh rasa haus mengeruk rezeki. Kemudian di dalam kehanyutan romantismenya, Lapindo mengeksploitasi kebohongan dan dusta menggunakan iklan dan operasi sosial politik sehingga membuahkan peraturan Presiden (Perpres) no 14/2007 yang selanjutnya dipakai untuk koersif (pemaksaan dan kekerasan) bagi masyarakat bangsanya sendiri.

2. Pembukaan UUD 1945, alinea Pertama, ”... maka penjajahan di atas dunia harus

dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusian dan perikeadilan.”

Human error yang dilakukan Lapindo sehingga terjadi semburan lumpur berkepanjangan adalah penyebab utama dari kesengsaraan masyarakat dan lingkungannya. Sampai sekarang penyebab utama dari kejadian itu tidak ditangani dengan baik, bahkan diulur–ulur dan diabaikan kesemuanya itu adalah perbuatan di luar perikemanusiaan. Sementara itu dampak dan akibatnya juga ditangani diluar perikeadilan sehingga lengkaplah perbuatan ini sebagai kejahatan korporasi dan kejahatan kemanusiaan. Selanjutnya Lapindo menggunakan juga tangan–tangan kekuasaan melalui operasi sosial politiknya maka lengkaplah sudah pola penjajahan baru yang dilakukan oleh suatu koneksi korporasi dan kekuasaan negara terhadap bangsanya sendiri.

Amanat pembukaan UUD 1945 sudah menginstruksikan untuk menghapuskan penjajahan itu. Sekarang pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia terposisikan pada situasi dilematis dan terpojokkan dari hasil karya sebuah korporasi bernama Lapindo. Dalam situasi seperti ini rakyat punya alasan untuk bertindak dan tidak bisa disalahkan ketika mereka berkehendak untuk menghapuskan penjajahan itu. Disisi lain pemerintah negara ini harus menentukan pilihan apakah akan bersama rakyat menegakkan kemerdekaan dengan menghapus penjajahan itu ataukah bersama korporasi menegakkan kembali penjajahan di atas dunia terhadap bangsa sendiri.

3. Pembukaan UUD 1945, alinea Ketiga, ”... dengan didorongkan oleh keinginan luhur

supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan

dengan ini kemerdekaannya.”

Lapindo sebagai korporasi sudah menelan asas neokapitalisme dan neoliberalisme pasar bebas. Ihkwal ini tampak pada gregetnya yang haus mengeruk rezeki. Padahal sekarang kedua asas itu terkritisi di negeri asalnya. Ronald Reagan dan Margareth Tatcher sebagai pencetus mazhab Laizes Faire ini sudah terkritisi ketika sekarang pasar tidak lagi mampu mengontrol krisis ekonomi di Amerika Serikat. Realitasnya, ekonomi harus diarahkan dan dikontrol dengan regulasi yang ketat oleh pemerintah. Jadi tampak jelas Lapindo adalah penelan segala dan tidak mencerminkan korporasi bangsa Indonesia, khususnya dalam menganut azas sesuai pasal 33 UUD 1945.

Berkebangsaan yang bebas adalah realitas yang diamanatkan oleh pembukaan UUD 1945. Bangsa Indonesia bukan bangsa “penelan“ segala ide yang masuk seperti halnya hewan omnivora (pemakan segala) melainkan kita ini adalah bangsa yang terusik keharusan untuk menghasilkan kebaruan dan kebajikan lebih agung buat hidup. Pemerintah Negara ini harus mewujudkan itu dan tidak tergantung pada konsultan dan korporasi asing yang kenyataannya tak lebih pintar dari kita sendiri.

Demi kehidupan berkebangsaan yang bebas maka jangan disalahkan bila rakyat Indonesia bangkit memperjuangkan kebaruan dan kebajikan agung. Mereka berjuang untuk menghentikan gaya sentripetal yang berakibat kita sebagai bangsa penelan dan menghidupkan gaya sentrifugal sebagai kita bangsa penghasil kebaruan dan kebajikan agung yang mengglobal untuk hidup dan kehidupan.

Dengan demikian jangan disalahkan bila gerakan menutup lumpur Lapindo (GMLL), demi kemaslahatan masyarakat dan demi kehormatan bangsa melakukan aksi membunuh sumur Lapindo.

4. Pembukaan UUD 1945 alinea Keempat, ”... melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ...”

Dengan merujuk kalimat tersebut di atas dan dipersandingkan dengan gambaran sepak terjang korporasi Lapindo sudah tampak jelas secara mencolok korporasi ini tidak memenuhi amanat pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Semua akibat kerusakan dan tindakan penanganan sama sekali tidak menggambarkan realitas memajukan kesejahteraan umum. Kerugian ekonomi masyarakat Jawa timur dan khususnya kerugian ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Sidoarjo tidak imbang dengan apa yang dihasilkan korporasi Lapindo di Jawa Timur. Dan ironisnya bukan kompensasi yang diberikan kepada masyarakat korban melainkan terjadi jual beli tanah yang diatur oleh Perpres 14/2007. Sekarang Presiden RI sudah terjebak menerbitkan peraturan yang dipakai sebagai alat bargaining dan koersif (pemaksa dan kekerasan) bagi rakyatnya sendiri oleh Korporasi Lapindo. Sementara itu DPR RI lalai untuk bertanya (interpelasi) malah secara resmi bergeser menjadi pengawas pelaksanaan koersif apakah sudah berlangsung efektif atau belum. Sangat menyedihkan tapi inilah realitas kerja dari lembaga demokrasi hasil reformasi kita dalam merealisasi cara untuk memajukan kesejahteraan umum. Sungguh sudah sirna martabat bangsa ini.

Sekarang semua penyimpangan logika genaplah sudah! Kebohongan telah merambah semua lembaga demokrasi eksekutif, legislatif dan yudikatif di kontrol oleh sebuah korporasi bernama Lapindo di bawah kendali aktor intelektual yang nyata bercokol dalam kabinet pemerintahan. Situasi kontrol seperti ini mengingatkan kita pada kata orang bijak: Dunia di abad ini di kontrol oleh tiga kekuatan yaitu Presiden Amerika Serikat dengan diplomasi dan mesin perangnya, Komandan USS Poseidon dengan peluru kendali berhulu ledak nuklirnya dan Rupert Murdoch dengan senjata pena dan media pewartaannya. Sekarang lebih luar biasa lagi ada lembaga–lembaga intelektual juga menelan kebohongan itu dan menyumbangkan lagi penyimpangan logika. Masyarakat bangsa Indonesia ini sedang memasuki proses pembodohan dan bukan ke arah mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dalam kondisi seperti ini jangan disalahkan bila tumbuh front intelektual, front sosial, front ekonomi dan front budaya dari beragam lapisan rakyat untuk menggugat. Sekarang mereka memiliki justifikasi (pembenaran) sebagai Raison d’etre (alasan untuk bertindak) untuk memperoleh legitimasi (hak kekuasaan politik) dengan melakukan beragam cara karena lembaga demokrasi hasil reformasi senantiasa menutup diri sedangkan ruang artikulasi (ruang untuk menyampaikan pendapat) sudah terbuka lebar.

Gerakan Menutup Lumpur Lapindo (GMLL) punya komitmen baru yaitu greget nurani progesif (berpikiran maju) untuk memberi solusi penuntas atas permasalahan bangsa selama ini dan kehendak mewujudkan masa depan yang lebih baik. Upaya menutup sumur Lapindo sebagai penyebab utama harus dituntaskan agar semua akibat yang merambah ke mana–mana bahkan sampai ke lembaga demokrasi sekalipun bisa teratasi.

5. Pembukaan UUD 1945, alinea Keempat, ”... dengan berdasarkan kepada Ketuhanan

Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan

Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/

Perwakilan serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Lapindo sebagai korporasi yang sudah merambah ke dalam lembaga demokrasi, mengeksplorasi dan mengeksploitasi nalar dan emosi mereka dengan kebohongan, apakah layak disebut sebagai memenuhi kehendak dari unsur–unsur tersebut di atas yang merupakan falsafah Pancasila bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia? Inilah gambaran tentang khianat itu. Sekali lagi martabat bangsa Indonesia sudah sirna di pandangan mata bangsa–bangsa di dunia.

Dalam konteks sirnanya martabat bangsa, kita perlu tahu di mana posisi Lapindo dan begundalnya dalam mengontrol Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Posisinya bisa ditemukan dengan menggunakan analisis strategi kontrol. Eccles menata strategi kontrol dalam tiga tahapan:

Pertama, Control Indispute (pengendalian dalam pertikaian). Pada waktu terjadi “Human Error” di saat pengeboran sehingga lumpur menyembur maka pihak Lapindo bertikai dengan siapa saja yang akan menyalahkan dirinya. Dalam tahap ini Lapindo berhasil memenangkan opini bahwa peristiwa pengeboran bukan Human Error. Peristiwa ini ditandai dengan pihak eksekutif menerbitkan Perpres 14/2007 melawan para korban lumpur lapindo dan pihak yang tidak bersetuju.

Kedua, Working Control (pengendalian kerja). Ruang artikulasi yang sudah dimenangkan oleh Lapindo masih sering digugat, sehingga Lapindo harus merebut ruang tersebut secara menyeluruh dengan memenangkannya di lembaga yudikatif dan legislatif. Sekali lagi Lapindo berhasil menang bahkan legislatif menjadi bias bergeser dari upaya interpelasi menjadi panitia pengawas Perpres 14/2007 untuk mengukur keefektifan koersifnya. Perlawanan terhadap Lapindo berkurang, namun tidak surut karena muncul front baru bernama Gerakan Menutup Lumpur Lapindo (GMLL). Dan ketiga, Absolute Control (pengendalian mutlak).

Sekarang Lapindo berada pada posisi absolute control mengendalikan lembaga demokrasi eksekutif, legislatif, yudikatif dengan menghadapi perlawanan yang lemah dari para korban lumpur Lapindo dan pihak elemen pendukung korban.

Namun pada posisi menjelang puncak absolute control, Lapindo menyadari kondisi ekonomi global dan ekonomi dalam negeri yang memburuk dapat memicu perlawanan yang lemah itu bisa membalikkan semuanya. Dengan pertimbangan itu, asset Lapindo dijual kepada Korporasi satu grupnya seraya memindahkan asset–asset kekayaan lainnya ke luar negeri khususnya di Hongkong.

Sungguh luar biasa peran aktor intelektual yang berada di belakang Lapindo sehingga dia bisa melakukan absolute control terhadap sebuah Negara.

Inilah gambaran nyata runtuhnya nurani berbangsa dan bernegara yang berakibat sirnanya martabat bangsa dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentang sebuah negeri dengan kemakmuran yang terlaknat akibat khianat yang berlangsung secara sistematis. Namun tidak semuanya mengalami keruntuhan nurani, karena masih ada yang teguh mempertahankan kehormatannya dan mempertahankan martabat bangsanya. Sebagian besar bangsa Indonesia bukan bangsa tempe, yang tidak punya semangat patriot. Mereka bisa melihat dengan jelas dan nyata serta tidak buta. Lubang semburan lumpur Lapindo seharusnya bisa ditutup agar bisa menyelesaikan seluruh masalah, namun tidak dikerjakan dengan baik malah diulur–ulur waktunya oleh Lapindo mengiringi strategi kontrol yang digelarnya.

Sekarang disela–sela sirnanya indentitas diri dan kehormatan diri serta surutnya keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sebagian besar dari masyarakat bangsa Indonesia dibukakan nuraninya oleh firman Allah SWT, ”Dan Kesatuan orang–orang yang beriman itu meskipun engkau kumpulkan semua harta di atas dunia ini, tidaklah mereka akan bersatu, namun Aku lah yang akan mempersatukannya.” Gerakan Menutup Lumpur Lapindo (GMLL) adalah salah satu wujud dari firman itu, bukan seperti Lapindo yang mempersatukan lembaga demokrasi dengan harta dunia melalui opini, propaganda iklan dan operasi sosial politik. Dalam situasi ini GMLL akan berseberangan dengan Lapindo untuk saling menggelar strategi kontrol.

GMLL punya dorongan ghaib. Sedangkan Lapindo tidak. Lapindo tidak punya komitmen tetapi GMLL punya komitmen baru yaitu: Greget nurani progesif pemberi solusi penuntas atas permasalahan bangsa selama ini dan kehendak mewujudkan masa depan yang lebih baik dan dirahmati.

Dengan dorongan sahibul ghaib dan komitmen baru GMLL bertekad menghentikan semua kebohongan ini. Dan demi kemaslahatan masyarakat serta demi kehormatan bangsa. Met of Zonder Pemerintah, lubang semburan lumpur Lapindo harus ditutup. Semoga Allah SWT meridhoi. (*)

Read More......

LAPINDO: BILA TIDAK DITUTUP

expr:id='"post-" + data:post.id'>

Dr. H. Tjuk Kasturi Sukiadi dan M. Dedy Julianto

Kini, umur semburan lumpur Lapindo itu sudah genap dua tahun. Namun dalam kurun waktu tersebut, nampak tidak ada tanda-tanda penanganan yang serius terhadap bencana yang sangat serius ini. Alih-alih melakukan usaha untuk menutup sumber masalah, hari-hari yang berlalu masih saja diwarnai silat lidah, baik itu mengenai penyebab semburan, persoalan siapa yang bersalah dan termasuk siapa yang akan membiayai kerugian. Perdebatan pinggiran seperti itu pada akhirnya melupakan langkah kongret untuk menghentikan semburan dan juga menyelamatkan para korban, ekosistem, perekonomian dan masa depan.

Dua tahun bukanlah waktu yang singkat. Kurun waktu tersebut sesungguhnya lebih dari cukup untuk menyelesaikan satu demi satu permasalahan ini. Namun seperti apa yang telah kita saksikan bersama, pihak Lapindo dan juga pemerintah seakan sengaja membiarkan bencana ini berlangsung berlarut-larut tanpa kepastian. Dalam situasi krisis, sikap semacam itu jelas mencerminkan mental tak berperikemanusiaan dan melenceng dari kaidah/nilai-nilai agama. Bencana lumpur Lapindo dengan demikian bukan saja mencerminkan kecerobohan manusia (human error), tetapi juga mencerminkan matinya hati nurani dan akal sehat.

Perilaku pemerintahan SBY-JK yang mengakomodir PT. Lapindo Brantas dengan melakukan pembiaran terhadap bencana semburan lumpur yang diakibatkan oleh kesalahan pengeboran sumur Banjarpanji 1, sangat meluluhlantakkan moralitas dan kredibilitas bangsa Indonesia di mata dunia. Bangsa yang sudah lebih 100 (seratus) tahun memproduksi minyak yang memiliki ratusan bahkan ribuan Sarjana perminyakan dan ratusan pakar Pengeboran dan pakar Geologi, harus tunduk dan takluk oleh konspirasi manusia-manusia yang sama sekali tidak mengenal dunia perminyakan.

Maka agar derita cepat usai, sudah saatnya melakukan upaya kongkret untuk menyumbat sumber masalah ini, yaitu menutup semburan sumur Lapindo (sumur Banjarpanji SBP-1). Upaya ini sengaja terus dimunculkan ke permukaan, agar bangsa Indonesia dan dunia memahami bahwa masih ada segelinir manusia Indonesia yang masih mempunyai nurani kemanusiaan dan mengerti makna berbangsa dan bernegara. Pekerjaan menutup semburan lumpur Lapindo adalah agenda mendesak yang harus segera dikerjakan. Manakala sumber lumpur tidak segera ditutup, maka;

  1. Pemerintah pusat telah melakukan pembiaran dan sekaligus mengorbankan rakyat di tiga kecamatan kabupaten Sidoarjo (Porong, Tanggulangin dan Jabon) dan wilayah di perlintasan ekonomi paling strategis Jawa Timur untuk waktu 50 tahun ke depan dan mungkin lebih panjang lagi. Karena semua pihak yang seharusnya bertanggung jawab tidak tahu volume dan magnitude dari kerusakan semburan lumpur Lapindo.
  2. Rakyat dan wilayah tersebut sudah by default dimasukkan ke dalam kondisi laten yang tidak menentu, tanpa kepastian dan tanpa masa depan (sekarang ini Porong dan Jabon sudah menjadi deserted area) oleh pemerintah negara RI yang seharusnya memberikan Peng Ayuan, Peng Ayoman dan Peng Ayeman kepada rakyat dan masyarakat bangsa yang terkena bencana dan hidup dalam penderitaan yang berkepanjangan. Ini adalah kejahatan kemanusiaan oleh Pemerintah dan Negara kepada rakyatanya.
  3. Kalau kita memakai perhitungan Greeneconomic yang memperkirakan kerugian ekonomi Jawa Timur adalah 90 miliyard rupiah setiap hari berapa kalau dalam waktu dua tahun dan 50 tahun. Belum kerugian sosial, budaya dan kemanusiaan kalau mau dikuantifikasi akan didapatkan angka ratusan bahkan mungkin ribuan triliun rupiah.
  4. Menyatakan Tragedi Lumpur Lapindo sebagai bencana alam merupakan bukti konspirasi antara pemerintah dan korporasi yang ujung-ujungnya membebani APBN yang sebagian besar didapatkan dari pajak. Praktek ini tidak lain adalah sekaligus perampokan uang rakyat dan sekaligus memberikan peluang kepada Lapindo sebagai "pahlawan kemanusiaan" di atas penderitaan rakyat yang telah menjadi korban akibat kecerobohannya. Lebih lanjut hal ini akan menjadi preseden buruk di dunia pertambangan Republik Indonesia ke depan. Perusahaan kontraktor bagi hasil yang lain akan "mengadopsi" praktek/pendekatan Lapindo Brantas Inc. manakala mereka membuat kesalahan yang serupa di tempat lain di wilayah Indonesia. Tidak perlu bertanggung jawab kepada korban dan lingkungan. Cukup manfaatkan koneksi kekuasaan politik, lobby dan dengan dukungan dana/keuangan semua dapat diatasi; dan berakhir dengan predikat pahlawan lingkungan dan kemanusiaan (Champion of Corporate Social Responsibility).
  5. Rendahnya kualitas keamanan di bidang pengeboran/penambangan di lain pihak akan membuat rakyat di daerah lain akan lebih skeptis dan apriori kepada kegiatan ekonomi sektor pertambangan. Rakyat di daerah lain tidak mau mengulangi nasib korban lumpur Lapindo. Alhasil lebih baik tidak ada kegiatan penambangan di daerah mereka ketimbang harus jadi korban yang nantinya akan diterlantarkan baik oleh pemerintah/negara dan korporasi yang memperoleh konsesi.
  6. Secara keseluruhan citra dari para praktisi pertambangan bangsa Indonesia akan hancur di mata internasional karena terbukti mereka tidak mampu melakukan pekerjaan dengan baik dan tidak punya tanggung jawab manakala terjadi kecelakaan. Terlebih lagi ternyata suatu kasus teknologi perminyakan yang di dunia pertambangan internasional merupakan "kecelakaan biasa" yang segera dapat diatasi justru telah dibiarkan tanpa upaya untuk mengatasi yang memadai.
  7. Perilaku pemerintahan SBY-JK yang mengakomodir PT. Lapindo Brantas Inc. dengan melakukan pembiaran terhadap bencana semburan lumpur yang diakibatkan oleh kesalahan pengeboran sumur Banjar Panji 1, sangat meluluh-lantakkan moralitas dan kredibilitas bangsa Indonesia di mata dunia.
  8. Bangsa yang sudah lebih seratus tahun memproduksi minyak yang memiliki ratusan bahkan ribuan sarjana perminyakan dan ratusan pakar pengeboran dan pakar geologi, harus tunduk dan takluk oleh konspirasi manusia-manusia yang sama sekali tidak mengenal dunia perminyakan.
  9. Kejadian semburan lumpur Lapindo, akan menjadi preseden yang sangat tidak baik di mata investor baik investor dalam negeri ataupun luar negeri. Kesalahan pemerintah dalam mengambil keputusan ini, mengakibatkan keragu-raguan pada setiap investor untuk melakukan investasi dalam usaha minyak dan gas bumi di Indonesia. Di lain pihak, untuk para investor yang memiliki niatan yang sama dengan lapindo (kalau ada kesalahan kerja, lakukan pengalaman yang sudah berhasil dilakukan oleh PT. Lapindo). Apabila ini terjadi lagi dan sangat mungkin akan terjadi dalam setiap melakukan pekerjaan pengeboran minyak dan gas bumi, negeri dengan penduduk lebih dari 200 juta dengan jumlah intelektual lebih dari 3 % (tiga persen) akan sama nilainya dengan negeri yang berpenduduk 10 juta jiwa dan keseluruhannya "Buta Aksara." Disengsarakan, dipaksa, diremehkan dan dibodohkan? Inikah negeri Pancasila, yang cinta damai, ramah tamah, gemah ripah lohjinawi, berbudaya tinggi, dan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa?

Hal-hal di atas akan segera menjadi nyata apabila kesalahan selama dua tahun belakangan terus dipelihara. Jika masyarakat ketakutan adanya kegiatan sektor pertambangan maka membuat invesment climate memburuk. Akibatnya investasi di bidang pertambangan akan menurun, ekonomi growth turun, pengangguran bertambah, dan ini akan menjadi fenomena laten. Mimpi buruk itu dapat dicegah hanya kalau sumur Lapindo ditutup. (*)

Read More......

LUMPUR MENGALIR SAMPAI JAUH

expr:id='"post-" + data:post.id'>

Dr. Hotman M Siahaan

Sudah dua tahun semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, terjadi. Pekat dan panasnya situasi hingga kini sepekat dan sepanas lumpur yang menyembur dari Bumi Jenggala. Dari mana harus mengurai perkara ini?

Ketika tiga aktor utama, yaitu negara (state), modal (corporate/Lapindo), dan rakyat Porong (civil society), saling mengklaim kepentingan sendiri, hasilnya kebuntuan menemukan solusi. Masing-masing pihak mengaku dirinya paling benar.

Lapindo Brantas Inc bersalah dan harus bertanggung jawab atas semua perkara yang ditimbulkan. Itulah pendapat publik. Negara pun menguatkan hal itu. Buktinya, Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 tentang pembentukan Tim Nasional (Timnas) Penanggulangan Lumpur mencantumkan diktum, semua biaya yang dibutuhkan Timnas dibebankan kepada Lapindo.

Meski masih ada kontroversi penyebab, fenomena mud volcano atau bukan, maupun cara penanggulangannya, Lapindo adalah terdakwa utama secara sosial politik. Meski hingga kini Lapindo bersikukuh, apa yang mereka lakukan—penanggulangan lumpur, pembiayaan Timnas, maupun pemenuhan tuntutan ganti rugi rakyat yang rumah dan tanahnya terbenam lumpur—tak lebih dari tanggung jawab moral dalam konteks corporate social responsibility (CSR).

Tanyakan kepada negara, apakah punya komitmen untuk menanggulangi masalah ini? Punya! Buktinya? Timnas dibentuk, presiden dan wakil presiden sudah menjenguk. Bukankah sudah berkali-kali diberikan petunjuk?

Bahkan keputusan Lapindo bertanggung jawab justru dilontarkan pertama kali oleh wakil presiden saat mengunjungi korban di Pasar Porong, dan disanggupi petinggi utama Lapindo, Nirwan Bakrie, yang saat itu juga ada di tempat itu.

Kontroversi

Dua tahun berlalu. Apa yang kita saksikan adalah kontroversi, baik sikap negara, Lapindo, rakyat, termasuk para ahli geologi. Semula elite geologi amat yakin, semburan itu mudah diatasi. Berbagai rekayasa teknologi dilakukan untuk menghentikan semburan, mulai dari relief well, snubbing, hingga melesakkan bola-bola beton ke pusat semburan. Namun, semburan tak surut, malah menjadi-jadi, luberannya pun mengalir sampai jauh. Pond penampungan tak muat, tanggul ambrol, sejumlah desa tenggelam. Bahkan permukiman di Perumahan Tanggulangin Asri Sejahtera I (Perumtas I) pun bernasib sama, yaitu ditelan lumpur.

Untuk kasus terakhir, kontroversi memuncak. Lapindo bersikukuh menolak memberi ganti rugi (apalagi ganti untung) kepada warga Perumtas I. Alasannya, tidak sesuai peta wilayah bencana Desember 2006 yang disepakati bersama Timnas. Luberan lumpur ke Perumtas I terjadi sesudah pipa gas Pertamina meledak, membawa korban jiwa. Dan itu, menurut Lapindo, adalah tanggung jawab Timnas.

Bagi warga Perumtas, alasan Lapindo tak masuk akal. Kenyataannya permukiman mereka terbenam lumpur Lapindo, bukan lumpur Timnas. Karena itu, mereka menuntut ganti rugi/untung sesuai preseden tiga desa sebelumnya yang sudah disetujui Lapindo untuk diberi ganti rugi cash and carry. Warga Perumtas I minta diperlakukan sama.

Apa yang kita saksikan dalam drama lumpur ini? Negara dan Lapindo bersikukuh, rakyat berjuang sendiri, bernegosiasi dengan Lapindo. Mereka tidak tahu di mana posisi negara. Negara di pihak mereka atau Lapindo, atau tidak di pihak siapa pun kecuali di pihak diri sendiri.

Logika macam apa lagi yang harus di-jelentreh-kan untuk mengurai kasus ini? Ada ribuan rakyat yang rumahnya terbenam dan harus mengungsi berbulan- bulan yang nyaris tidak layak untuk suatu kehidupan sosial. Rakyat yang tercerabut dari akar sosial, budaya, dan ekonominya kini terancam tercerabut dari akar politisnya sebagai warga negara. Ketika mereka minta pertanggungjawaban atas nasibnya yang terpuruk, yang terjadi mereka harus bertarung dengan segala ketidakberdayaan menghadapi kekuatan corporate. Timnas sebagai bentukan negara cuma memfasilitasi negosiasi, juga tanpa daya.

Ambilalih Negara

Kegamangan hubungan dan tanggung jawab state-corporate-civil society, baik dalam upaya penanggulangan dan keberpihakan, membuat masalah lumpur kian pekat dan meluber tak terkendali. Berbagai upaya mendudukkan perkara, baik oleh wakil rakyat, pemerintah daerah, maupun intelektual dan kekuatan masyarakat lain, belum menuai titik terang.

Prinsip sebenarnya jelas. Ketiga aktor, state-corporate-civil society, harus mendudukkan perkara sesuai proporsinya. Negara harus memutuskan. Jika Lapindo adalah penyebab bencana lumpur, biarlah negara berurusan dengan Lapindo. Apa pun urusan dan keputusan perkaranya menjadi ranah negara dengan Lapindo. Ranah rakyat dan Lapindo harus diambil alih negara, terutama penyelesaian masalah ganti rugi, baik yang sudah maupun yang belum disepakati. Bukankah negara wajib memberi perlindungan kepada rakyat? Kejelasan perkara ini akan menghentikan kegamangan.

Sambil menunggu upaya penghentian lumpur, prioritas utama adalah mengendalikan agar tak meluber jauh. Untuk itu, BPLS harus mendapat status atas nama negara, dibiayai negara, dan menjalankan fungsi negara dalam penanggulangan semua dampak lumpur. Termasuk rehabilitasi atau relokasi infrastruktur milik negara, jalan tol, rel kereta api, jalan provinsi, jaringan listrik, dan lainnya, termasuk menyelesaikan ganti rugi. Atas nama negara, tim organik melindungi rakyat. Tugas ini amat bermoral dan konstitusional.

Tanpa kejelasan dan komitmen untuk mempertegas permasalahan antara posisi negara (state), korporat (corporate), dan warga Bumi Jenggala (civil society), luapan lumpur perkara akan meliar dan rentan menimbulkan gejolak sosial, bahkan tak mustahil muncul pembangkangan sipil, yang tanda-tanda awalnya sudah mulai bertunas. (*)

Read More......
Template by : Kendhin x-template.blogspot.com