');

IBU PERTIWI DIPERKOSA

expr:id='"post-" + data:post.id'>

Dra. Arie Koen Soelistijo, Msi

Indah dan permai bagaikan intan permata

Tanah airku tanah pusaka ibuku

Slama hidupku aku setia padamu (Tanah Tumpah Darahku)

Tanahku yang kucintai

Engkau kuhargai (Tanah Airku)

Tempat berlindung di hari tua

Tempat akhir menutup mata (Indonesia Pusaka)

Subur tanahmu subur, ya subur

Kami cintakan selama umur, ya umur (Indonesia Subur)

Puja puji dalam syair lagu di atas itu sangat tepat sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan yang telah melimpahkan karunia tempat hidup yang tak ternilai. Betapa mulia para penggubahnya yang telah mengajak setiap insan negri untuk tahu diri. Tanah elok subur tempat berteduh menyatunya semua mahluk hidup dalam dinamika kehidupan, sejak lahir hingga hayat berakhir. Dipadu dengan melodi yang indah mendayu, terasa menyentuh menggelayut relung kalbu. Maka, lengkaplah sudah rasa tertumpah, cinta tulus pada alam Ibu Pertiwi pemberi kehidupan.

Lagu tersebut merupakan ekspresi kebebasan dan kebanggaan menjadi bangsa yang bermartabat tinggi, serta ekspresi kesetiaan tanpa pamrih. Sejak itu warga negri sepakat dengan penuh harap menyongsong masa depan yang gemilang, rukun damai beradab dan berkeadilan. Saling menyintai antar sesama, saling menghormati, menolong, serta dalam rengkuhan ayoman pemerintah yang adil dan bijak, berwibawa “gung binathara.”

Namun, apa yang terjadi setelah lebih setengah abad negara bangsa ini tegak? Ibu Pertiwi dihimpit nyeri. Tak ada lagi kehangatan di ketiak sayapnya. Wajah porak poranda di mana-mana. Manusia-manusia drakula telah mengobrak-abrik serta menghisap darahnya. Bumi loh jinawi Porong Sidoarjo telah berubah menjadi neraka di jantung Jawa Timur. Rahim Pertiwi telah diperkosa. Anak haram berupa hamparan lautan lumpur panas berbau busuk itu telah lahir di sana bernama Danau Lumpur Lapindo.

Si pemerkosa tak juga mau mengakui perbuatannya entah sampai kapan. Sejumlah anak negri telah bermimikri menjadi pemegang berbagai wewenang kekuasaan dan penguasaan sekaligus penjajah bangsa sendiri. Betapa congkak dan mentang-mentangnya mereka terhadap kawula alit yang menengadah tak berdaya. Bagi mereka, “di mana bumi dipijak di situ manusianya diinjak.” Mereka bagai preman jalanan yang melakukan apa saja sesuai kehendak. Di kampung, pelaku pemerkosa dikejar hingga tertangkap, dituntut pengakuan dan tanggung-jawabnya, dihakimi beramai-ramai meski telah mengaku. Para pemerkosa bumi Porong Sidoarjo itu melenggang dengan tenang, nampang di mana-mana, tidak ada yang mengejar, tidak ada yang menghakimi, tidak ada rasa bersalah.

Usaha menyedot menghisap manisnya madu Pertiwi Sidoarjo itu dilakukan dengan sengaja mengabaikan prosedur dan program yang sudah ditentukan, untuk mengurangi biaya operasi. Sama sekali tidak dipikirkan akibat fatal yang akan terjadi yaitu akan membunuh lingkungan seisinya. Suatu korupsi yang sungguh sangat telanjang. Justru pengeboran di dekat permukiman dan infrastruktur, unsur keselamatan mengharuskan kehati-hatian yang sangat besar dan cermat. Prinsip-prinsip ilmiah profesionalisme yang ideal, terpuji, yang menjunjung tinggi kejujuran telah dikalahkan oleh hasrat tamak di luar perikemanusiaan. Betapa kebohongan dan moral bobrok telah dipertontonkan secara nyata.

Kesalahan ini tak diakui bahkan diingkari. Dengan muslihat yang sistematis, opini digiring seolah petaka itu akibat bencana alam gempa Jogya. Satu dosa besar diikuti dosa-dosa besar berikutnya. Ini adalah suatu usaha yang melacurkan intelektualisme. Petaka itu takkan terjadi bila ada pengawasan yang ketat dan jujur dari institusi pemerintah terkait. Bebas dari pengawasan bukan berarti luput atau kecolongan tapi kekompakan yang manis antara pemegang kekuasaan dan penguasaan, ahli jarah wal jama’ah. Pemerintah lebih memilih mengipasi pengusaha yang haus keserakahan daripada mengayomi kawula negri yang berjuang untuk sepiring nasi buat hari ini. Pemerintah sebagai panglima tidak sigap dan cerdas bertindak sejak awal petaka terjadi, hingga kian membesar dan menganggap sudah dilakukan usaha-usaha untuk mengatasi dan dianggap gagal. Lagi-lagi penipuan yang di”amien”i pemerintah. Hanya karena rasa ewuh pakewuh lantaran si pemilik perusahaan adalah bagian dari penguasa maka petaka itu dibiarkan hingga lebih dari dua tahun. Suatu pembiaran yang disengaja yang sungguh melanggar hak asasi manusia. Suatu tindakan yang benar-benar menelanjangi martabat bangsa di mata dunia.

Bak Yang Dipertuan Agung, Raja Diraja, apa yang menjadi sabda itulah kehendaknya. Persetan dengan yang lain. Persetan dengan semua yang tenggelam dalam Danau Lumpur Lapindo haram itu. Persetan dengan para korban. Persetan dengan kerugian. Mata kepala dan mata hatinya telah buta, demikian pula telinga kepala dan telinga hatinya telah tuli. Mungkin jenis manusia seperti ini yang disebut dalam (Q.S. Al Baqoroh 7): Khotamallahu ‘ala qulubihim wa’ala sam’ihim wa’ala abshorihim ghisyawatuw walahum ‘azabun azhiim. (Artinya: Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup, dan bagi mereka siksa yang amat pedih/berat).

Mereka seperti orang-orang yang disebut itu takkan lagi mendengar merdu mengharunya lagu-lagu pujian bagi negri pujaan. Lagu yang tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan, dilantunkan oleh anak negri yang menyerukan keadilan, memerangi kedholiman serta menjunjung tinggi kejujuran. Di masa nanti akan tergubah lagu-lagu kutukan, cemoohan yang menyebut mereka sebagai penjahat kemanusiaan, penindas bangsa, penjajah yang serakah. Lagu kutukan itu akan diteriakkan oleh penerus anak negri yang memendam dendam berkepanjangan. (*)

0 komentar:

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com