');

POLITISASI LUMPUR LAPINDO

expr:id='"post-" + data:post.id'>

M. Yudhie Haryono

Setelah pemilu 2004, pemerintahan SBY-JK setidaknya memiliki empat pekerjaan besar yang harus diselesaikan. Keempatnya adalah kasus KKN Soeharto, penuntasan Amandemen UUD45, warisan KKN BLBI, dan tragedi Lumpur Lapindo. Jika tiga yang pertama merupakan warisan dari rezim lama maka tragedi Lumpur Lapindo adalah produk mutakhir pemerintahan SBY-JK.

Mengapa disebut produk mutakhir pemerintahan SBY-JK? Jawabannya karena pemerintahan SBYJK mengambil alih tanggung jawab PT. Lapindo Brantas menjadi tanggungannya dengan menganggapnya sebagai bencana alam dan membiayainya dengan APBN. Karena itu jika dilihat secara kronologis, logika ini menemukan argumentasinya. Kita catat, tragedi lumpur Lapindo dimulai pada 29 Mei 2006 di sumur BJP-1 milik PT Lapindo Brantas. Kemudian ditegaskan oleh Meneg KLH pada 9 Juni 2006 bahwa Lapindo bertanggungjawab atas tragedi tersebut. Selanjutnya pada 18 Juni 2006 Menteri ESDM menegaskan dengan data dan tanggungjawab yang sama pada Lapindo. Akhirnya, Aburizal Bakrie pada 21 Juni 2006 sebagai pemilik Lapindo mengaku bersalah dan menjadi ”penanggungjawab” tragedi tersebut yang dikuatkan oleh penetapan tersangka pengelola Lapindo oleh Polda Jatim pada 31 Juli 2006.

Sayangnya, perjalanan fakta historis ini diambilalih oleh pemerintah SBY-JK pada 8 Setember 2006 dengan membentuk TimNas yang akhirnya membelokkan cerita dan fakta. Sejak itulah, pengakuan dosa Lapindo dan pemiliknya terkubur oleh ”drama-drama baru” yang mempolitisasi tragedi Lapindo. Berubahlah alur sejarah tanggungjawab Lapindo ke negara dan kesalahan manusia menjadi ”bencana alam” dan makin menderitalah para korban semburan lumpur Lapindo.

Padahal, setelah hampir dua tahun, dengan kerugian total mencapai sebesar 33.2 Triliun karena sampai hari ini menenggelamkan 894ha, meliputi 10 desa dari 3 kecamatan di Kabupaten Sidoarjo plus tergenangnya 1,5 km ruas jalan tol dan berbagai jaringan fasilitas umum seperti listrik, pipa gas, telepon dan PDAM, serta berbagai fasilitas umum dan sosial lainnya maka pilihannya adalah ”membunuh sumur Lapindo” [Greenomics, 2007]. Pembunuhan ini menjadi kata kunci penyelesaian tragedi kemanusiaan yang maha dahsyat karena korbannya begitu banyak.

Karena itu—bahkan tanpa harus melihat penyebab sekalipun—apalagi data-data cukup akurat dari TimNas yang menyimpulkan bahwa pengeboran di BJP-1 sebagai penyebab kejadian sehingga menyisakan harapan untuk mematikan sumber semburan maka ”membunuh sumur Lapindo” adalah pilihan terbaik, murah, mudah, efesien dan pro korban.

Menurut Rudi Rubiandini [ahli perminyakan ITB], Mustiko Saleh [mantan wakil dirut Pertamina], Kersam Sumanta dan Rubin Lubron [keduanya ahli perminyakan Pertamina] gagasan membunuh sumur Lapindo dapat dilakukan dengan dua tahap. Pertama, membuat lubang komunikasi dari permukaan ke sumber semburan atau lebih di bawahnya, dengan memanfaatkan sumur BJP-1. Telah dicoba dengan menggunakan snubbing unit dan menara bor yang relatif kecil National-110 PDSI milik Pertamina untuk mereparasi sumur. Upaya ini pernah dilakukan oleh TimNas, namun karena di dalam lubang masih terdapat ”ikan” (peralatan yang terkubur di dalam sumur ialah pipa bor dan pahat) juga telah rusaknya selubung/casing (pipa pelindung lubang), usaha ini tidak berhasil. Tetapi pada saat snubing unit beroperasi telah berhasil melakukan ”Gyro Survey” untuk mengukur sudut kemiringan dan arah lubang sampai kedalaman ”puncak ikan di 2920 kaki.

Penggunaan snubing unit sebenarnya hanya untuk memanfaatkan adanya peluang waktu dan alat yang tersedia dan paling mudah diperoleh pada saat itu, meskipun snubbing unit bukan peralatan yang tepat untuk reparasi sumur.

Karena operasi mereparasi sumur BJP-1 ini gagal, maka selanjutnya harus membuat sumur baru yang jaraknya cukup jauh dan memiliki tanah stabil guna melakukan pemboran miring, yang dikenal dengan istilah relief well. Relief well ini digunakan untuk membuat komunikasi permukaan dengan sumber semburan, dan dengan melalui relief ini fluida/lumpur berat akan dipompakan untuk mematikan semburan yang terjadi pada sumur yang bermasalah tersebut (BJP-1). Karena itu sasaran dan arah dari relief well harus dapat masuk/ bersinggungan dengan sumur BJP-1 atau mendekati sedekat mungkin pada posisi kedalaman lapisan yang menjadi sumber semburan.

Pembuatan relief well pernah diupayakan, tetapi belum pernah tuntas sampai mencapai kedalaman yang dituju. Hal ini disebabkan karena berbagai hambatan yang jauh dari logika operasional pemboran, yang antara lain dukungan aliran dana yang tersendat (tidak lancar) yang ditenggarai bukan karena Lapindo tidak punya uang tetapi lebih disebabkan karena keengganan untuk membelanjakannya. Hal yang menjadi hambatan lain adalah kredibelitas Lapindo di mata para service kontraktor sudah sangat buruk, mereka menginginkan pembayaran di muka, karena takut pembayarannya terhambat. Yang paling parah adalah kualitas sumber daya manusia yang ada pada Lapindo sangat diragukan, ini terbukti mereka lebih percaya kepada konsultan asing dari pada kepada bangsanya sendiri, atau karena memang tidak punya ahli yang dapat dipercaya. Masihkah Lapindo punya jiwa dan semangat patriotisme/nasionalisme setelah 60 (enam puluh) tahun Indonesia Merdeka? Sebagai gambaran, Rig Century yang disewa dari Australia hanya bekerja efektif sekitar 2 bulan dari 6 bulan keberadaannya di lapangan. Lebih parah lagi, Rig kepunyaan Pertamina hanya memiliki kesempatan 2-3 minggu dari 5 bulan keberadaannya di lapangan, karena ada peralatan utama yang harus dipinjamkan kepada Rig Century. Ini suatu keanehan yang luar biasa suatu Menara Bor dikontrak dengan perlatan yang seharusnya dimiliki dan menjadi kesatuan dengan menara bor tersebut. ( seperti ”Orang mau manten tidak bawa keris”)

Tahap kedua yaitu mematikan sumber semburan. Cara yang dilakukan ada tiga yaitu: Pertama, menginjeksikan fluida/lumpur yang memiliki berat jenis tinggi sehingga ketika bercampur dengan cairan pada sumber semburan akan menghasilkan fluida yang mampu mengimbangi tekanan semburan.

Pada upaya penghentian semburan lumpur di Sidoardjo, perhitungan simulasi menghasilkan syarat keberhasilan mematikan semburan dengan metoda menginjeksikan lumpur berat akan berhasil bila sumur relief ini memiliki diameter casing terakhir minimal 9-5/8 inchi. Hal ini didasarkan kepada hasil simulasi tersebut bahwa kecepatan aliran pemompaan berkisar antara 120 samapai 150 barrel per menit. Bila diameter casing hanya dapat direalisasikan 7 inchi maka diperlukan 2 buah relief well.

Dua buah sumur relief well tersebut memiliki tugas sebagai berikut: Relief Well-1 bertugas melakukan pemboran vertikal terlebih dahulu sampai melewati zona yang bermasalah dan kemudian membor miring menuju sumber semburan di Banjarpanji-1. Bila casing terakhir 9-5/8 inchi berhasil dipasang, maka akan dicoba mematikan semburan dari sumur ini. Bila tidak bisa mematikan atau casingnya lebih kecil, maka kegiatan mematikan semburan harus dilakukan bersama-sama relief well-2.

Relief Well-2 dioperasikan bila relief well-1 tidak dapat mematikan semburan, dan dengan adanya relief well-2 ini keberhasilan untuk mematikan semburan lebih terjamin. Selanjutnya kita harus mematikan semburan dengan metoda dynamic killing. Teknologi yang menggunakan pendekatan tekanan hidrodinamik ini sudah sering dilakukan dalam operasi mematikan semburan liar (blow-out) di seluruh dunia. Konsepnya adalah memompakan cairan yang cukup berat, sehingga tekanan hidrostatis lumpur ditambah dengan gesekan dari aliran vertikal dari cairan di dalam sumur yang menyembur lebih besar dari tekanan formasi penyebab semburan.

Hasil dari simulasi yang dilakukan secara terus menerus disempurnakan dan didiskusikan dengan berbagai pihak yang kompeten di bidang ini, serta berpengalaman sebelumnya dalam mematikan sumur blow-out ternyata berhasil. Adapun tim yang terlibat dalam diskusi tersebut adalah: Boots & Coots Engineering (USA), Abel Engineering (USA), Tim ITB (Indonesia), pakar mantan staff PERTAMINA (Indonesia) dan pejabat BPMIGAS.

Dengan mengambil asumsi lubang telah membesar empat puluh (40) kalinya yaitu sebesar 25.000 barel, semburan diambil maksimum 750.000 barel per hari (520 bpm), dan densitas lumpur yang meluap sebesar 12,5 ppg, maka hasil kesimpulan yang diperoleh adalah: 1) lumpur berat yang dibutuhkan memiliki densitas minimal 22 ppg (pound per gallon). 2) volume lumpur berat yang harus disediakan minimal 15.000 Bbls. 3) pompa harus disediakan dengan kemampuan minimal mampu mengalirkan lumpur sebesar 120 Bpm (5.000 gpm atau 173.000 Bpd).

Kedua, bila dengan teknologi dynamic killing tidak mampu membunuh sumur Lapindo maka kita harus menggunakan teori memproduksikan air asin yang terproduksi dari lapisan bawah dipompa keluar menggunakan dua buah sumur relief well ke permukaan, sehingga tekanan yang selama ini mengangkat lumpur ke permukaan akan terkurangi dan akhirnya mematikan semburan lumpur yang tidak terkontrol.

Teknologi ini dibantu dengan memasang Pompa ESP (Pompa listrik yang terendam) dengan kemampuan sangat besar yang dimiliki teknologi produksi minyak. Dengan menggunakan dua buah pompa besar secara paralel maka akan secara signifikan mengurangi daya dorong lumpur ke permukaan dari lubang lama yang sekarang dilalui lumpur secara tidak terkontrol.

Kedua alternatif tersebut dapat saja dibalik bergantung kepada keadaan yang dijumpai pada waktu operasi, dengan pertimbangan-pertimbangan keadaan mana yang lebih efisien.

Ketiga, bila kedua usaha tersebut tidak berhasil membunuh sumur Lapindo maka metode terakhir adalah meruntuhkan lapisan di sekitar pusat semburan dengan menggunakan bahan peledak. Teknologi yang diprakarsai oleh Ir. Mustiko Saleh ini, didasarkan atas pertimbangan–pertimbangan sebagai berikut:

1. Penyebaran rekahan, ukuran rekahan bentuk rekahan tidak diketahui secara pasti (perlu survey 3 D seismic guna mengetahui geometri bawah tanahnya).

2. Berdasarkan pengalaman PERTAMINA dalam penanggulangan ”kejadian sejenis” (Under Groud Blow Out) di lapangan Rantau (1982), Lapangan Sangatta (1983) dan yang terakhir di lapangan Jatibarang (1997), di mana fluida yang keluar berupa gas Hydrocarbon. Under Ground Blow Out yang terjadi mati seketika dengan sendirinya sebagai akibat ”runtuhnya lapisan-lapisan tanah” secara alamiah dan menimbuni serta menyumbat rekahan yang ada.

3. Peruntuhan secara ”buatan” yaitu dengan peledakan dapat diaplikasikan di sumur BJP-1, yang akan menutup rekahan-rekahan yang saat ini terbuka.

4. Secara ekonomis metoda ini paling murah dan menguntungkan. Peledakan dapat dilakukan beberapa kali sehingga hasilnya efektif. Efektifitas peledakan ini tergantung dari kekuatan explosivenya, lokasi peledakan dan pelaksanaan relief wellnya.

Terlebih, kondisi bawah tanah seperti yang tergambarkan versi riset majalah National Geographic Magazine, January 2008 sangat kondusif terhadap metoda peledakan ini. Sebab, dengan adanya pergerakan lapisan tanah yang cepat maka peralatan pemboran yang akan dibangun harus dicegah untuk tidak akan mengalami pergerakan, keretakan, dan gangguan-gangguan lainnya seperti yang telah dialami sebelumnya. Untuk itu, agar relief well tidak terganggu maka harus diciptakan teknologi di mana keberadaan aliran lumpur tidak mengganggu, misalnya menggunakan teknologi peralatan pemboran yang biasa dipakai dalam pemboran di laut.

Seperti kita ketahui, di laut kita bisa menggunakan jack-up rig yaitu peralatan pemboran yang memiliki kaki bisa dinaik-turunkan dan posisi lantai bor bisa 40-50 meter di atas permukaan laut.

Jadi bila ketebalan lumpur hanya 10-30 meter saja, tentunya teknologi ini—yang dimodifikasi dan disesuaikan—dengan kondisi lumpur di Sidoarjo dapat menjadi solusi. Persoalannya adalah, adakah kemauan politik pro-kemanusiaan di tubuh pemerintahan SBYJK? Biarlah mereka yang menjawabnya. (*)

0 komentar:

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com