');

LUMPUR MENGALIR SAMPAI JAUH

expr:id='"post-" + data:post.id'>

Dr. Hotman M Siahaan

Sudah dua tahun semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, terjadi. Pekat dan panasnya situasi hingga kini sepekat dan sepanas lumpur yang menyembur dari Bumi Jenggala. Dari mana harus mengurai perkara ini?

Ketika tiga aktor utama, yaitu negara (state), modal (corporate/Lapindo), dan rakyat Porong (civil society), saling mengklaim kepentingan sendiri, hasilnya kebuntuan menemukan solusi. Masing-masing pihak mengaku dirinya paling benar.

Lapindo Brantas Inc bersalah dan harus bertanggung jawab atas semua perkara yang ditimbulkan. Itulah pendapat publik. Negara pun menguatkan hal itu. Buktinya, Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 tentang pembentukan Tim Nasional (Timnas) Penanggulangan Lumpur mencantumkan diktum, semua biaya yang dibutuhkan Timnas dibebankan kepada Lapindo.

Meski masih ada kontroversi penyebab, fenomena mud volcano atau bukan, maupun cara penanggulangannya, Lapindo adalah terdakwa utama secara sosial politik. Meski hingga kini Lapindo bersikukuh, apa yang mereka lakukan—penanggulangan lumpur, pembiayaan Timnas, maupun pemenuhan tuntutan ganti rugi rakyat yang rumah dan tanahnya terbenam lumpur—tak lebih dari tanggung jawab moral dalam konteks corporate social responsibility (CSR).

Tanyakan kepada negara, apakah punya komitmen untuk menanggulangi masalah ini? Punya! Buktinya? Timnas dibentuk, presiden dan wakil presiden sudah menjenguk. Bukankah sudah berkali-kali diberikan petunjuk?

Bahkan keputusan Lapindo bertanggung jawab justru dilontarkan pertama kali oleh wakil presiden saat mengunjungi korban di Pasar Porong, dan disanggupi petinggi utama Lapindo, Nirwan Bakrie, yang saat itu juga ada di tempat itu.

Kontroversi

Dua tahun berlalu. Apa yang kita saksikan adalah kontroversi, baik sikap negara, Lapindo, rakyat, termasuk para ahli geologi. Semula elite geologi amat yakin, semburan itu mudah diatasi. Berbagai rekayasa teknologi dilakukan untuk menghentikan semburan, mulai dari relief well, snubbing, hingga melesakkan bola-bola beton ke pusat semburan. Namun, semburan tak surut, malah menjadi-jadi, luberannya pun mengalir sampai jauh. Pond penampungan tak muat, tanggul ambrol, sejumlah desa tenggelam. Bahkan permukiman di Perumahan Tanggulangin Asri Sejahtera I (Perumtas I) pun bernasib sama, yaitu ditelan lumpur.

Untuk kasus terakhir, kontroversi memuncak. Lapindo bersikukuh menolak memberi ganti rugi (apalagi ganti untung) kepada warga Perumtas I. Alasannya, tidak sesuai peta wilayah bencana Desember 2006 yang disepakati bersama Timnas. Luberan lumpur ke Perumtas I terjadi sesudah pipa gas Pertamina meledak, membawa korban jiwa. Dan itu, menurut Lapindo, adalah tanggung jawab Timnas.

Bagi warga Perumtas, alasan Lapindo tak masuk akal. Kenyataannya permukiman mereka terbenam lumpur Lapindo, bukan lumpur Timnas. Karena itu, mereka menuntut ganti rugi/untung sesuai preseden tiga desa sebelumnya yang sudah disetujui Lapindo untuk diberi ganti rugi cash and carry. Warga Perumtas I minta diperlakukan sama.

Apa yang kita saksikan dalam drama lumpur ini? Negara dan Lapindo bersikukuh, rakyat berjuang sendiri, bernegosiasi dengan Lapindo. Mereka tidak tahu di mana posisi negara. Negara di pihak mereka atau Lapindo, atau tidak di pihak siapa pun kecuali di pihak diri sendiri.

Logika macam apa lagi yang harus di-jelentreh-kan untuk mengurai kasus ini? Ada ribuan rakyat yang rumahnya terbenam dan harus mengungsi berbulan- bulan yang nyaris tidak layak untuk suatu kehidupan sosial. Rakyat yang tercerabut dari akar sosial, budaya, dan ekonominya kini terancam tercerabut dari akar politisnya sebagai warga negara. Ketika mereka minta pertanggungjawaban atas nasibnya yang terpuruk, yang terjadi mereka harus bertarung dengan segala ketidakberdayaan menghadapi kekuatan corporate. Timnas sebagai bentukan negara cuma memfasilitasi negosiasi, juga tanpa daya.

Ambilalih Negara

Kegamangan hubungan dan tanggung jawab state-corporate-civil society, baik dalam upaya penanggulangan dan keberpihakan, membuat masalah lumpur kian pekat dan meluber tak terkendali. Berbagai upaya mendudukkan perkara, baik oleh wakil rakyat, pemerintah daerah, maupun intelektual dan kekuatan masyarakat lain, belum menuai titik terang.

Prinsip sebenarnya jelas. Ketiga aktor, state-corporate-civil society, harus mendudukkan perkara sesuai proporsinya. Negara harus memutuskan. Jika Lapindo adalah penyebab bencana lumpur, biarlah negara berurusan dengan Lapindo. Apa pun urusan dan keputusan perkaranya menjadi ranah negara dengan Lapindo. Ranah rakyat dan Lapindo harus diambil alih negara, terutama penyelesaian masalah ganti rugi, baik yang sudah maupun yang belum disepakati. Bukankah negara wajib memberi perlindungan kepada rakyat? Kejelasan perkara ini akan menghentikan kegamangan.

Sambil menunggu upaya penghentian lumpur, prioritas utama adalah mengendalikan agar tak meluber jauh. Untuk itu, BPLS harus mendapat status atas nama negara, dibiayai negara, dan menjalankan fungsi negara dalam penanggulangan semua dampak lumpur. Termasuk rehabilitasi atau relokasi infrastruktur milik negara, jalan tol, rel kereta api, jalan provinsi, jaringan listrik, dan lainnya, termasuk menyelesaikan ganti rugi. Atas nama negara, tim organik melindungi rakyat. Tugas ini amat bermoral dan konstitusional.

Tanpa kejelasan dan komitmen untuk mempertegas permasalahan antara posisi negara (state), korporat (corporate), dan warga Bumi Jenggala (civil society), luapan lumpur perkara akan meliar dan rentan menimbulkan gejolak sosial, bahkan tak mustahil muncul pembangkangan sipil, yang tanda-tanda awalnya sudah mulai bertunas. (*)

0 komentar:

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com