');

EXHAUSTING DOMESTIC REMEDIES?

expr:id='"post-" + data:post.id'>

Dina Savaluna, SH

Lebih dari dua tahun lumpur Lapindo menggenangi puluhan desa di Sidoarjo.
Kerugian yang diakibatkan oleh semburanpun secara nominal mencapai belasan digit. Berbagai upaya telah ditempuh melalui kerja-kerja advokasi, baik kampanye maupun jalur hukum di tingkat nasional. Tujuannya adalah untuk meminta pertanggungjawaban negara terhadap para korban serta menjerat siapapun yang bertanggung jawab atas peristiwa ini di hadapan hukum. Namun hingga kini segala upaya tersebut mengalami kebuntuan, kalah melawan Bakrie yang adikuasa. Kedua gugatan legal standing yang diajukan memenangkan Lapindo meskipun dengan argumen yang saling bertentangan satu dengan yang lain.

Tentakel Bakrie di tanah air menyapu bersih segala upaya di tingkat nasional yang telah ditempuh oleh pihak-pihak yang mengupayakan penegakan keadilan bagi korban. Fakta ini menimbulkan tanda tanya besar terhadap keadilan dan keberpihakan hukum kepada pihak yang lemah yang dalam konteks ini adalah korban lumpur Lapindo. Nasib korban sampai detik ini masih terkatung-katung. Harapan akan ganti rugi yang layakpun semakin pudar.

Posisi Bakrie sebagai orang terkaya dan juga seorang menteri yang kemudian dia sangat berpengaruh di Indonesia, mengakibatkan upaya advokasi di tingkat nasional hampir menemui jalan buntu. Sebuah fenomena yang sangat ironis, di mana seorang pejabat publik yang secara hakikat jabatan seharusnya menjadi pelayan kepentingan umum, justru menjadi bencana dan pelanggar utama terhadap hak-hak asasi rakyatnya.

Semakin buntunya upaya yang dapat ditempuh di tingkat nasional untuk memberikan keadilan kepada korban, menimbulkan sebuah kebutuhan yang mendesak akan sebuah terobosan advokasi menuju tingkat internasional. Upaya ini diharapkan dapat menjadi sebuah upaya efektif untuk dapat mendesak pemerintah menanggulangi lumpur ini dengan sungguh-sungguh.

Efektivitas tekanan internasional dapat kita lihat di dalam beberapa contoh kasus seperti Timor Lorosae[1], Aceh[2], dan Burma.[3] Keempat contoh kasus tersebut menujukkan bahwa Kampanye Internasional bukanlah usaha yang sia-sia. Di tengah kebuntuan kampanye lokal, dan ketidakberpihakan pemerintah pada kemanusiaan, tekanan internasional diharapkan mampu membawa angin segar pada penanggulangan luapan Lumpur ini. Dalam hal ini Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) menyediakan suatu mekanisme monitoring yang dapat ditempuh oleh pegiat advokasi lumpur Lapindo; mekanisme ini dikenal dengan Special Procedure (prosedur khusus)

Special Procedure adalah salah satu bentuk dari mekanisme pemantauan Dewan HAM PBB terhadap penegakan HAM di Negara-negara anggotanya. Special Procedure dibentuk oleh Commission of Human Rights atau yang saat ini digantikan oleh Human Rights Council untuk menanggapi kondisi negara tertentu dan isu tematik tertentu. Dalam konteks kasus Lapindo, isu tematik yang dapat digunakan adalah isu Human Rights dan Transnasional Corporations of other business enterprises. Di mana untuk isu ini sekretaris Jenderal PBB menunjuk John Ruggie sebagai Perwakilan khususnya yang akan memberikan laporan langsung kepada Sekretaris Jenderal PBB (Special Representative of the Secretary General).

Berdasarkan Resolusi Nomor 2005/69, Special Representative of the Secretary General diberikan mandat, antara lain:

  1. Mengidentifikasi dan mengklarifikasi standar tanggung jawab dan tanggung gugat perusahaan terhadap HAM untuk perusahaan transnasional dan entitas niaga lainnya.
  2. Mengelaborasi peran negara dalam mengatur secara efektif dan menilai peran dari perusahaan transnasional dan entitas niaga lainnya terhadap HAM, termasuk melalui kerjasama internasional.
  3. Meneliti dan mengklarifikasi akibat dari perusahaan transnasional dan entitas niaga lainnya dalam konsep seperti konspirasi dan wilayah dominasi.
  4. Mengembangkan bahan dan metodologi untuk menyelenggarakan penilaian terhadap aktifitas perusahaan transnasional dan entitas niaga lainnya yang berdampak pada HAM.
  5. Memadukan informasi-informasi spesifik tentang praktik terbaik dari Negara dan Perusahaan transnasional dan Entitas Niaga lainnya.

Melalui pertimbangan tersebut di atas, bukanlah sebuah ide yang buruk untuk mengundang Special Representative of Business and Human Rights tersebut untuk melakukan peninjauan terhadap kasus Lapindo. Berdasarkan mandatnya tersebut, diharapkan Special Representative dapat memberikan assessment-nya terhadap kondisi di Sidoarjo terkait semburan lumpur dan melaporkannya ke Sekretaris Jendral PBB untuk kemudian ke dalam agenda Sidang Umum PBB, di mana pemerintah Indonesia dapat dimintai keterangan akan kasus Lapindo ini dimuka sidang umum dan dipertanyakan kembali komitmennya terhadap penegakan HAM yang sudah merupakan kewajiban pemerinah sebagai anggota PBB dan sebagai negara peserta di dalam berbagai instrumen penegakan HAM internasional.

Independensi dari Mr. John Ruggie ini tidak perlu diragukan akan terkontaminasi oleh adidaya Bakrie, sehingga laporannya pun pasti akan independen dan berperspektif korban. Dengan dibicarakan di Sidang Umum PBB diharapkan dunia akan menyoroti tentang tragedi ini dan terus mendesak pemerintah untuk mengambil langkah-langkah kongkret penanggulangannya. Dan, bukan tidak mungkin dunia internasional akan memberikan bantuan kemanusiaan kepada para korban mengingat korban memerlukan bantuan mendesak untuk bertahan hidup.

Mengingat bahwa pemulihan kembali hak-hak ekososbud yang dilanggar merupakan kewajiban negara yang harus dipenuhi secara segera dan mendesak sesuai dengan klausul immediately effects, klausul progressive realization tidak bisa dipergunakan di kasus ini. Oleh karena itu, pemulihan hak para korban harus dilakukan dengan segera, dengan menggunakan seluruh sumber daya yang tersedia (maximum available resources). Namun, sudah dua tahun pasca semburan pertama, kewajiban negara tersebut diabaikan karena desakan politik dari berbagai pihak. Upaya menempuh keadilan lewat jalur hukum yang kandas baik perdata, pidana, maupun konstitusional, merupakan sebuah kegagalan pemerintah memberikan judicial remedies bagi para korban. Atas dasar Exhaustion of Local Remedies itulah Indonesia dapat mengajukan mekanisme internasional dengan menggunakan kaidah-kaidah internasional yang merupakan international customary law.

Dengan digunakannya mekanisme internasional ini, tidak berarti pemerintah dan Lapindo lepas dari tanggung jawab atas restitutio in integrum (mengembalikan keadaan sampai sesaat sebelum pelanggaran terjadi). Pemerintah dan Lapindo tetap harus menanggung atas seluruh pemulihannya. Namun, apabila menunggu niat baik dari Lapindo sebagai entitas niaga yang profit oriented dan pemerintah yang di bawah tentakel lapindo, nasib puluhan ribu korban yang terkatung-katung dipertaruhkan. Penggunaan mekanisme internasional ini diharapkan dapat membawa angin segar pada usaha penanggulangan lumpur dan menghadirkan secercah harapan di cakrawala Sidoarjo. (*)



[1] Di mana untuk pertama kalinya, rakyat East Timor memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri.

[2] Desakan Internasional membawa perjanjian damai Helsinski antara GAM dan Pemerintah RI. Jangan dilupakan juga bantuan untuk korban tsunami di Aceh atas nama Human Rights Solidarity

[3] Desakan internasional berhasil membuat junta membuka diri untuk bantuan kemanusiaan bagi korban Badai Nargis.

0 komentar:

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com