');

SIRNANYA MARTABAT BANGSA

expr:id='"post-" + data:post.id'>

Letjend TNI Marinir (Purn.) Suharto

Sirnanya martabat (kehormatan) sebuah bangsa merupakan sisi outcomes dari tindakan bodoh dan pembodohan oleh bangsa itu. Awalnya dimulai dari keruntuhan nurani lalu berbuat kebohongan dan tanpa disadari berbuat khianat terhadap dirinya sendiri.

Runtuhnya nurani adalah sebuah kondisi yang terukur pada rentang redup sampai dengan gelapnya cahaya dari perasaan hati yang murni. Kondisi seperti ini rawan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat atau kelompok manusia manapun yang terhanyut dalam romantisme kondisi itu akan menjadi khianat bila memperoleh dinamisasi kebohongan. Orang bijak berkata: Kebohongan berakibat kebodohan dan kebodohan berakibat ketidakjelasan arah yang menghasilkan outcomes hilangnya martabat dan ujungnya bermuara kepada desintegrasi sebuah bangsa.

Pada buku (mem) Bunuh Sumur Lapindo terbitan yang lalu, tampak nyata menggambarkan bahwa Lapindo melakukan awal kebohongan kecil untuk melindungi diri lalu dilanjutkan dengan kebohongan besar yang sekarang menjebaknya. Perbuatan itu dilakukan secara terukur dan sistematis dengan cara eksplorasi dan eksploitasi koneksi nalar dan emosi dengan menggunakan industri periklanan dan lebih muthakir lagi dengan operasi sosial politik. Kebohongan sebagai sebuah komoditi bisa dikemas efektif dengan memanfaatkan fabilitas (pemahaman yang tidak sempurna pada manusia) Hasilnya adalah realitas bisa menjadi berbeda dari yang kita pahami. Hasil dari komoditi bohong ini terjadi karena kita menerima informasi pada lebar pita (band width) 1 juta sementara kesadaran kita beroperasi pada lebar pita 40. Pemrosesannya memakan waktu sekitar setengah detik, maka kesadaran kita tertinggal selama itu dibelakang realitas.

Komoditi bohong inilah yang memicu semakin runtuhnya nurani berbangsa dan bernegara pada kalangan masyarakat dan ternyata sudah merambah pula pada institusi intelektual dan lembaga demokrasi hasil reformasi meliputi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sekarang menjadi tampak jelas betapa rendahnya martabat bangsa ini, Quo Vadis Bangsa dan Negara ini?

Sekarang kita lihat Lapindo terjerat untuk berbohong terus demi mempertahankan “greget haus mengeruk rezeki”. Greget ini merupakan ciri khas dari neokapitalisme. Di sini tidak menutup kemungkinan bahwa Lapindo adalah komprador yang mengemban misi neoliberalisme dan neokapitalisme bagi kepentingan asing yang mengisi globalisasi menyentuh negara dan bangsa–bangsa yang miskin. Selanjutnya untuk mengetahui seberapa jauh akibat dari ulah dan sepak terjang dari Lapindo ini, kita perlu mengukurnya dengan UUD 1945, Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1. Pasal 24 UUD 1945 berbunyi: Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ulah di dalam kasus Lapindo bisa diukur dengan syariat agama antara lain dengan agama Islam atau Nasrani.

a. Agama Islam, QS. 17 AL ISRA 35, Dan penuhilah takaran bila menakar dan timbanglah secara jujur. Cara inilah yang terbaik dan akibatnya pun paling baik pula.

b. Agama Nasrani, Injil. KELUARAN 20, 15–16: Jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu.

c. Lapindo tidak penuhi takaran yang sudah ditentukan dan tidak menimbangnya dengan jujur. Akibatnya terjadi derita dan sengsara seperti apa yang kita lihat sekarang, Lapindo tidak penuhi: Drilling Operation Best Practice, kualitas SDM yang baik dan kualitas alat peralatan yang tepat. Selain itu, Lapindo Tidak Jujur; mempertimbangkan lokasi pengeboran karena mengabaikan Meijn Politie Reglement 1930, dan dalam menetapkan Chain of command, serta dalam memenuhi kredibilitas pembayaran.

Kesemua ini disebabkan nuraninya sudah runtuh sebelum memulai kerja dan cahayanya sudah digelapkan oleh rasa haus mengeruk rezeki. Kemudian di dalam kehanyutan romantismenya, Lapindo mengeksploitasi kebohongan dan dusta menggunakan iklan dan operasi sosial politik sehingga membuahkan peraturan Presiden (Perpres) no 14/2007 yang selanjutnya dipakai untuk koersif (pemaksaan dan kekerasan) bagi masyarakat bangsanya sendiri.

2. Pembukaan UUD 1945, alinea Pertama, ”... maka penjajahan di atas dunia harus

dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusian dan perikeadilan.”

Human error yang dilakukan Lapindo sehingga terjadi semburan lumpur berkepanjangan adalah penyebab utama dari kesengsaraan masyarakat dan lingkungannya. Sampai sekarang penyebab utama dari kejadian itu tidak ditangani dengan baik, bahkan diulur–ulur dan diabaikan kesemuanya itu adalah perbuatan di luar perikemanusiaan. Sementara itu dampak dan akibatnya juga ditangani diluar perikeadilan sehingga lengkaplah perbuatan ini sebagai kejahatan korporasi dan kejahatan kemanusiaan. Selanjutnya Lapindo menggunakan juga tangan–tangan kekuasaan melalui operasi sosial politiknya maka lengkaplah sudah pola penjajahan baru yang dilakukan oleh suatu koneksi korporasi dan kekuasaan negara terhadap bangsanya sendiri.

Amanat pembukaan UUD 1945 sudah menginstruksikan untuk menghapuskan penjajahan itu. Sekarang pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia terposisikan pada situasi dilematis dan terpojokkan dari hasil karya sebuah korporasi bernama Lapindo. Dalam situasi seperti ini rakyat punya alasan untuk bertindak dan tidak bisa disalahkan ketika mereka berkehendak untuk menghapuskan penjajahan itu. Disisi lain pemerintah negara ini harus menentukan pilihan apakah akan bersama rakyat menegakkan kemerdekaan dengan menghapus penjajahan itu ataukah bersama korporasi menegakkan kembali penjajahan di atas dunia terhadap bangsa sendiri.

3. Pembukaan UUD 1945, alinea Ketiga, ”... dengan didorongkan oleh keinginan luhur

supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan

dengan ini kemerdekaannya.”

Lapindo sebagai korporasi sudah menelan asas neokapitalisme dan neoliberalisme pasar bebas. Ihkwal ini tampak pada gregetnya yang haus mengeruk rezeki. Padahal sekarang kedua asas itu terkritisi di negeri asalnya. Ronald Reagan dan Margareth Tatcher sebagai pencetus mazhab Laizes Faire ini sudah terkritisi ketika sekarang pasar tidak lagi mampu mengontrol krisis ekonomi di Amerika Serikat. Realitasnya, ekonomi harus diarahkan dan dikontrol dengan regulasi yang ketat oleh pemerintah. Jadi tampak jelas Lapindo adalah penelan segala dan tidak mencerminkan korporasi bangsa Indonesia, khususnya dalam menganut azas sesuai pasal 33 UUD 1945.

Berkebangsaan yang bebas adalah realitas yang diamanatkan oleh pembukaan UUD 1945. Bangsa Indonesia bukan bangsa “penelan“ segala ide yang masuk seperti halnya hewan omnivora (pemakan segala) melainkan kita ini adalah bangsa yang terusik keharusan untuk menghasilkan kebaruan dan kebajikan lebih agung buat hidup. Pemerintah Negara ini harus mewujudkan itu dan tidak tergantung pada konsultan dan korporasi asing yang kenyataannya tak lebih pintar dari kita sendiri.

Demi kehidupan berkebangsaan yang bebas maka jangan disalahkan bila rakyat Indonesia bangkit memperjuangkan kebaruan dan kebajikan agung. Mereka berjuang untuk menghentikan gaya sentripetal yang berakibat kita sebagai bangsa penelan dan menghidupkan gaya sentrifugal sebagai kita bangsa penghasil kebaruan dan kebajikan agung yang mengglobal untuk hidup dan kehidupan.

Dengan demikian jangan disalahkan bila gerakan menutup lumpur Lapindo (GMLL), demi kemaslahatan masyarakat dan demi kehormatan bangsa melakukan aksi membunuh sumur Lapindo.

4. Pembukaan UUD 1945 alinea Keempat, ”... melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ...”

Dengan merujuk kalimat tersebut di atas dan dipersandingkan dengan gambaran sepak terjang korporasi Lapindo sudah tampak jelas secara mencolok korporasi ini tidak memenuhi amanat pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Semua akibat kerusakan dan tindakan penanganan sama sekali tidak menggambarkan realitas memajukan kesejahteraan umum. Kerugian ekonomi masyarakat Jawa timur dan khususnya kerugian ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Sidoarjo tidak imbang dengan apa yang dihasilkan korporasi Lapindo di Jawa Timur. Dan ironisnya bukan kompensasi yang diberikan kepada masyarakat korban melainkan terjadi jual beli tanah yang diatur oleh Perpres 14/2007. Sekarang Presiden RI sudah terjebak menerbitkan peraturan yang dipakai sebagai alat bargaining dan koersif (pemaksa dan kekerasan) bagi rakyatnya sendiri oleh Korporasi Lapindo. Sementara itu DPR RI lalai untuk bertanya (interpelasi) malah secara resmi bergeser menjadi pengawas pelaksanaan koersif apakah sudah berlangsung efektif atau belum. Sangat menyedihkan tapi inilah realitas kerja dari lembaga demokrasi hasil reformasi kita dalam merealisasi cara untuk memajukan kesejahteraan umum. Sungguh sudah sirna martabat bangsa ini.

Sekarang semua penyimpangan logika genaplah sudah! Kebohongan telah merambah semua lembaga demokrasi eksekutif, legislatif dan yudikatif di kontrol oleh sebuah korporasi bernama Lapindo di bawah kendali aktor intelektual yang nyata bercokol dalam kabinet pemerintahan. Situasi kontrol seperti ini mengingatkan kita pada kata orang bijak: Dunia di abad ini di kontrol oleh tiga kekuatan yaitu Presiden Amerika Serikat dengan diplomasi dan mesin perangnya, Komandan USS Poseidon dengan peluru kendali berhulu ledak nuklirnya dan Rupert Murdoch dengan senjata pena dan media pewartaannya. Sekarang lebih luar biasa lagi ada lembaga–lembaga intelektual juga menelan kebohongan itu dan menyumbangkan lagi penyimpangan logika. Masyarakat bangsa Indonesia ini sedang memasuki proses pembodohan dan bukan ke arah mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dalam kondisi seperti ini jangan disalahkan bila tumbuh front intelektual, front sosial, front ekonomi dan front budaya dari beragam lapisan rakyat untuk menggugat. Sekarang mereka memiliki justifikasi (pembenaran) sebagai Raison d’etre (alasan untuk bertindak) untuk memperoleh legitimasi (hak kekuasaan politik) dengan melakukan beragam cara karena lembaga demokrasi hasil reformasi senantiasa menutup diri sedangkan ruang artikulasi (ruang untuk menyampaikan pendapat) sudah terbuka lebar.

Gerakan Menutup Lumpur Lapindo (GMLL) punya komitmen baru yaitu greget nurani progesif (berpikiran maju) untuk memberi solusi penuntas atas permasalahan bangsa selama ini dan kehendak mewujudkan masa depan yang lebih baik. Upaya menutup sumur Lapindo sebagai penyebab utama harus dituntaskan agar semua akibat yang merambah ke mana–mana bahkan sampai ke lembaga demokrasi sekalipun bisa teratasi.

5. Pembukaan UUD 1945, alinea Keempat, ”... dengan berdasarkan kepada Ketuhanan

Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan

Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/

Perwakilan serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Lapindo sebagai korporasi yang sudah merambah ke dalam lembaga demokrasi, mengeksplorasi dan mengeksploitasi nalar dan emosi mereka dengan kebohongan, apakah layak disebut sebagai memenuhi kehendak dari unsur–unsur tersebut di atas yang merupakan falsafah Pancasila bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia? Inilah gambaran tentang khianat itu. Sekali lagi martabat bangsa Indonesia sudah sirna di pandangan mata bangsa–bangsa di dunia.

Dalam konteks sirnanya martabat bangsa, kita perlu tahu di mana posisi Lapindo dan begundalnya dalam mengontrol Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Posisinya bisa ditemukan dengan menggunakan analisis strategi kontrol. Eccles menata strategi kontrol dalam tiga tahapan:

Pertama, Control Indispute (pengendalian dalam pertikaian). Pada waktu terjadi “Human Error” di saat pengeboran sehingga lumpur menyembur maka pihak Lapindo bertikai dengan siapa saja yang akan menyalahkan dirinya. Dalam tahap ini Lapindo berhasil memenangkan opini bahwa peristiwa pengeboran bukan Human Error. Peristiwa ini ditandai dengan pihak eksekutif menerbitkan Perpres 14/2007 melawan para korban lumpur lapindo dan pihak yang tidak bersetuju.

Kedua, Working Control (pengendalian kerja). Ruang artikulasi yang sudah dimenangkan oleh Lapindo masih sering digugat, sehingga Lapindo harus merebut ruang tersebut secara menyeluruh dengan memenangkannya di lembaga yudikatif dan legislatif. Sekali lagi Lapindo berhasil menang bahkan legislatif menjadi bias bergeser dari upaya interpelasi menjadi panitia pengawas Perpres 14/2007 untuk mengukur keefektifan koersifnya. Perlawanan terhadap Lapindo berkurang, namun tidak surut karena muncul front baru bernama Gerakan Menutup Lumpur Lapindo (GMLL). Dan ketiga, Absolute Control (pengendalian mutlak).

Sekarang Lapindo berada pada posisi absolute control mengendalikan lembaga demokrasi eksekutif, legislatif, yudikatif dengan menghadapi perlawanan yang lemah dari para korban lumpur Lapindo dan pihak elemen pendukung korban.

Namun pada posisi menjelang puncak absolute control, Lapindo menyadari kondisi ekonomi global dan ekonomi dalam negeri yang memburuk dapat memicu perlawanan yang lemah itu bisa membalikkan semuanya. Dengan pertimbangan itu, asset Lapindo dijual kepada Korporasi satu grupnya seraya memindahkan asset–asset kekayaan lainnya ke luar negeri khususnya di Hongkong.

Sungguh luar biasa peran aktor intelektual yang berada di belakang Lapindo sehingga dia bisa melakukan absolute control terhadap sebuah Negara.

Inilah gambaran nyata runtuhnya nurani berbangsa dan bernegara yang berakibat sirnanya martabat bangsa dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentang sebuah negeri dengan kemakmuran yang terlaknat akibat khianat yang berlangsung secara sistematis. Namun tidak semuanya mengalami keruntuhan nurani, karena masih ada yang teguh mempertahankan kehormatannya dan mempertahankan martabat bangsanya. Sebagian besar bangsa Indonesia bukan bangsa tempe, yang tidak punya semangat patriot. Mereka bisa melihat dengan jelas dan nyata serta tidak buta. Lubang semburan lumpur Lapindo seharusnya bisa ditutup agar bisa menyelesaikan seluruh masalah, namun tidak dikerjakan dengan baik malah diulur–ulur waktunya oleh Lapindo mengiringi strategi kontrol yang digelarnya.

Sekarang disela–sela sirnanya indentitas diri dan kehormatan diri serta surutnya keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sebagian besar dari masyarakat bangsa Indonesia dibukakan nuraninya oleh firman Allah SWT, ”Dan Kesatuan orang–orang yang beriman itu meskipun engkau kumpulkan semua harta di atas dunia ini, tidaklah mereka akan bersatu, namun Aku lah yang akan mempersatukannya.” Gerakan Menutup Lumpur Lapindo (GMLL) adalah salah satu wujud dari firman itu, bukan seperti Lapindo yang mempersatukan lembaga demokrasi dengan harta dunia melalui opini, propaganda iklan dan operasi sosial politik. Dalam situasi ini GMLL akan berseberangan dengan Lapindo untuk saling menggelar strategi kontrol.

GMLL punya dorongan ghaib. Sedangkan Lapindo tidak. Lapindo tidak punya komitmen tetapi GMLL punya komitmen baru yaitu: Greget nurani progesif pemberi solusi penuntas atas permasalahan bangsa selama ini dan kehendak mewujudkan masa depan yang lebih baik dan dirahmati.

Dengan dorongan sahibul ghaib dan komitmen baru GMLL bertekad menghentikan semua kebohongan ini. Dan demi kemaslahatan masyarakat serta demi kehormatan bangsa. Met of Zonder Pemerintah, lubang semburan lumpur Lapindo harus ditutup. Semoga Allah SWT meridhoi. (*)

0 komentar:

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com