');

SALAH KAPRAH NEGARA

expr:id='"post-" + data:post.id'>


Ir. Ali Azhar Akbar

Perdebatan ramai mengenai penyebab semburan lumpur Lapindo yang masih marak hingga sekarang adalah antara bencana alam atau human error. Debat kusir ini tidak hanya marak di kalangan masyarakat umum atau politisi, namun juga merambah ke kalangan pakar perminyakan dan para geologist. Pihak yang menyatakan penyebabnya adalah bencana alam, melandaskan teori dan analisisnya dengan mengacu kejadian gempa di Yogyakarta dua hari sebelum terjadi semburan. Menurut mereka, gempa Yogya tersebut menyebabkan terjadinya rekahan atau patahan di Banjarpanji I, kemudian lumpur keluar melalui rekahan tersebut. Sedangkan pihak pro human error, termasuk hasil analisis Prof. Ricard Davies, semburan lumpur tidak ada hubungan sama sekali dengan kejadian gempa Yogya. Namun, semburan lumpur terjadi semata-mata karena murni kesalahan pengeboran.

Dalam kaitan tersebut, penulis ingin mengajak mengingat kembali tentang pengertian bencana alam, yang selama ini dipergunakan sebagai “tameng” pihak Lapindo. Pasal 1 angka 1 Undang Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana (UUPB) memberikan pengertian mengenai bencana, yaitu:

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Berdasarkan uraian dalam pasal 1 angka 1 UUPB tersebut dapat kita simpulkan bahwa “bencana adalah segala peristiwa yang mengakibatkan gangguan terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat.” Sedangkan, bencana dapat dikategorikan ke dalam tiga bentuk berdasarkan penyebabnya, yaitu:

  1. bencana alam, adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan olehalam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.(UUPB Pasal 1 angka 2)
  2. bencana karena faktor nonalam, adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. (UUPB Pasal 1 angka 3)
  3. bencana karena faktor manusia, adalah bencana sosial yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror. (UUPB Pasal 1 angka 4)

Ketiga jenis tindakan tersebut bisa disebut bencana jika mengakibatkan kerugian harta benda, dampak psikologis, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa manusia.

Mengenai jenis bencana yang kedua ini, UUPB sama sekali tidak memberikan rincian pengertiannya. Di dalam pasal 1 angka 3 tersebut hanya diberikan contoh, salah satunya berupa gagal teknologi. Bencana gagal teknologi, biasanya disebabkan oleh kegagalan, baik kesengajaan, kesembronoan, maupun ketidak sengajaan dari sebuah perusahaan. Karena itu, bencana jenis ini sering disebut sebagai bencana perusahaan.

Secara garis besarnya, bencana perusahaan dapat diartikan sebagai bencana massal yang diakibatkan oleh tindakan perusahaan industri, baik karena ketidaksengajaan, kelalaian, atau ketidakmampuan secara ilmu pengetahuan dan teknik dari perusahaan yang bersangkutan. Dengan kata lain, bencana industri atau bencana perusahaan adalah bencana yang penyebabnya berakar pada produk (hasil) dan proses produksi dan industri.

Peristiwa bencana yang banyak digunakan orang sebagai contoh bencana perusahaan adalah bencana Bhopal di India, yang merupakan bencana perusahaan yang paling buruk yang pernah terjadi. Peristiwa ini diakibatkan oleh bocornya bahan kimia beracun dari psabrik Union Carbide yang mengakibatkan meninggalnya 3000 orang sebagai akibat langsung, dan kemudian mencapai lebih kurang 15.000 orang sebagai akibat penyakit yang berhubungan dengan racun yang bocor tersebut. Bencana tersebut mengakibatkan penghuni wilayah tersebut, baik manusia maupun hewan, mengalami permasalahan kesehatan yang berat sampai sekarang.

Contoh kedua adalah bencana Minamata. Bencana ini disebabkan oleh pembuangan senyawa merkuri di teluk Minimata, Jepang. Yang dianggap bertanggungjawab atas pembuangan senyawa merkuri yang mengakibatkan polusi tersebut adalah the Chisso Corporation, sebuah perusahaan pupuk kimia, yang kemudian berubah menjadi perusahaan petrokimia. Pembuangan senyawa merkuri tersebut dilakukan selama kurun waktu tahun 1932 sampai dengan 1968. Diperkirakan lebih dari 3.000 orang menderita berbagai perubahan wujud (deformities), gejala keracunan senyawa merkuri, atau meninggal yang disebabkan oleh apa yang kemudian disebut sebagai penyakit Minamata.

Contoh ketiga adalah ledakan penyulingan minyak di kota Texas. Peristiwanya terjadi pada tanggal 23 Maret 2005, di mana pada waktu itu terjadi ledakan pabrik penyulingan minyak milik British Petrolium di kota Texas. Dalam bencana tersebut, lebih dari 100 orang terluka dan 15 orang dipastikan meninggal dunia, termasuk pejabat Fluor Corporation dan British Petroleum sendiri. BP mengakui bahwa pejabatnya ikut berperan di dalam terjadinya peristiwa tersebut.

Lumpur Lapindo bencana alam atau bukan?

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, di mana bencana perusahaan berarti bencana massal yang diakibatkan oleh tindakan perusahaan industri, baik karena ketidaksengajaan, kelalaian, atau ketidakmampuan secara ilmu pengetahuan dan teknik dari perusahaan yang bersangkutan maka untuk menentukan apakah bencana semburan lumpur panas Lapindo merupakan bencana alam atau bencana perusahaan, harus dilihat dan dianalisis dari peristiwa yang mengakibatkan timbulnya bencana tersebut.

Dari rangkaian peristiwa yang terjadi, dapat digambarkan bahwa kronologinya adalah sebagai berikut:

26 Mei 2006,

Pukul 05.00

  • Pengeboran dilanjutkan dari kedalaman 8980 ft sampai 9090 ft
  • Pengeboran dilanjutkan dari kedalaman 9090 ft sampai 9230 ft, terdeteksi adanya kandungan H2S (25 ppm pada Shale Shaker)
  • Pengeboran dilanjutkan dari kedalaman 9230 ft sampai 9277 ft

27 Mei 2006,

Pukul 05.00 – 07.00

  • Pemboran dilanjutkan sampai kedalaman 9283 ft, trayek lubang 12 ¼ “ dengan densitas Syntethic Drilling Fluid (SDF) 15.0 ppg

Pukul 07.00 – 11.00

  • Mempersiapkan tambahan 4 stand Drill Pipe.

Pukul 11.00 -13.00

  • Melanjutkan pemboran dari kedalaman 9283 ft – 9297 ft.
  • Terjadi Total Loss

Pukul 13.00 – 17.00

  • Mempompa 60 bbls LCM untuk menutup zona lumpur yang hilang
  • Mencabut 4 stand DP sampai kedalaman 8737 ft dan memantau sumur.

Pukul 17.00 – 00.00

  • Menyiapkan 600 bbls lumpur baru debgan densitas 14,7 ppg

28 Mei 2006,

Pukul 00.00 – 05.00

  • Penarikan pipa dari 8737 ft sampai 8100 ft, terjadi kelebihan beban sebesar 30.000 lbs
  • Sirkulasi pada kedalaman 8100 ft. Hanya kembali 50 %
  • Penarikan dilanjutkan hingga 4500 ft.

Pukul 05.00 – 08.00

  • Penarikan pipa dilanjutkan hingga 4241 ft
  • Adanya peningkatan volume lumpur menandakan adanya well kick
  • Terdeteksi adanya gas H2S yang tinggi sekitar 500 ppm

Pukul 08.00 – 12.00

  • Mengevakuasi personel.
  • Tutup sumur, killing well dengan lumpur 14,7 ppg dengan menggunakan metoda volumetrik.
  • Lumpur pemboran terus mengalir hingga densitasnya menjadi 8,9 ppg.
  • Sumur berhasil dimatikan, namun telah terjadi kehilangan lumpur sejak pukul 05.00 sebesar 300 bbl.

Pukul 12.00 -20.00

  • Pipa terjepit akibat clay swelling (mengembangnya clay akibat bereaksi dengan air)
  • Pipa tidak dapat digerakkan lagi
  • Mencoba untuk melepaskan pipa dengan kekuatan 400.000 lbs dan memutar sebesar 10.000 lb-ft; namun tidak berhasil.

Pukul 20.00 – 22.00

  • Mixed 50 bbl, 14,7 ppg, 95/5 OWR HIVIS pill

Jam 22.00 – 02.00

  • Mempompakan 40 bbl lumpur HIVIS

29 Mei 2006,

Pukul 02.00 – 03.30

  • Persiapan free point indicator

Pukul 03.30 – 04.30

  • Terdeteksi adanya kandungan H2S dipermukaan 35 ppm pada saat mempersiapkan alat.

Pukul 04.30 – 05.00

  • Muncul gelembung gas H2S 5 ppm pada 150 m dari lubang sumur.
  • Muncul semburan pertama kali diperkirakan sampai ketinggian 25 ft dengan frekwensi setiap 5 menit.

Lumpur Lapindo, siapa yang harus bertanggungjawab?

Masalah siapa yang harus bertanggungjawab, tergantung pada pemeriksaan pengadilan yang akan menentukan siapa yang bersalah. Namun demikian, sebelum hakim menentukan siapa yang bersalah, pihak-pihak yang berpotensi bertanggungjawab harus diperiksa semua. Mereka adalah:

1. Perusahaan (badan hukum)

2. Pengelola, dalam hal ini terutama direktur maupun orang lain yang berhubungan dengan penyebab terjadinya bencana (dalam kasus lumpur Lapindo adalah terjadinya semburan lumpur panas), dan

3. Petugas pengawas

Apakah perusahaan, yang jelas bukan manusia, dapat dimintai tanggungjawab?

Dalam hukum Indonesia, selain manusia, dikenal juga istilah orang (merupakan terjemahan dari kata person). Antara manusia dan orang mempunyai pengertian yang berbeda. Orang adalah subyek hukum. Artinya pemangku hak dan kewajiban hukum, suatu entitas yang dapat menuntut dan dituntut dimuka hakim. Sementara itu, pemangku hak dan kewajiban hukum ada dua, yaitu manusia (orang alamiah) dan badan hukum (orang non-alamiah). Karena itu, sebagai pemangku hak dan kewajiban, perusahaan yang berbadan hukum (PT) dapat dimintai tanggungjawab hukum, sebagaimana halnya manusia. Hal ini juga dapat kita lihat dari ketentuan pasal 1 angka 21 UUPB yang berbunyi: “Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau badan hukum.”

Apa dasarnya Lapindo Brantas Inc. harus bertanggungjawab?

Ada dua alasan mengapa Lapindo Brantas Inc. yang mengalami kegagalan teknologi serta berakibat timbulnya bencana harus bertanggungjawab. Pertama, kegagalan teknologi yang berakibat bencana, yang berarti mengakibatkan masyarakat kehilangan sumber kehidupan, tempat tinggal, dan sebagainya merupakan pelanggaran hak yang dijamin oleh undang-undang, yang salah satunya terdapat didalam Pasal 26 ayat (1) – (3) UUPB yang menyatakan:

(1) Setiap orang berhak:

a. mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana;

b. mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

c. mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan penanggulangan bencana.

d. berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial;

e. berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya; dan

f. melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas pelaksanaan penanggulangan bencana.

(2) Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar.

(3) Setiap orang berhak untuk memperoleh ganti kerugian karena terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi.

Kedua, sudah menjadi kewajiban setiap lembaga usaha untuk melakukan tindakan penghati-hatian, sehingga tindakannya tidak memicu terjadinya bencana. Hal ini terdapat di dalam pasal 40 ayat (3) UUPB yang menentukan bahwa “Setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi yang menimbulkan bencana dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagai bagian dari usaha penanggulangan bencana sesuai dengan kewenangannya.” Hal ini dapat bermakna lembaga usaha berkewajiban mengambil langkah-langkah pencegahan dan pengurangan risiko bencana sesuai dengan ketentuan undang-undang tersebut.

Selain itu, secara lebih jelas juga diatur didalam pasal 39 PP no. 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, yang didalam ayat (2)-nya menyatakan bahwa dalam mengembangkan dan memproduksi lapangan Minyak dan Gas Bumi, Kontraktor wajib melakukan konservasi dan melaksanakannya sesuai dengan kaídah Keteknikan yang baik. Selanjutnya didalam ayat (4) yang dihubungkan dengan sub c, d, dan f-nya dinyatakan bahwa kaidah keteknikan yang baik tersebut salah satunya meliputi tindakan:

a. memproduksikan sumur Minyak dan Gas bumi dengan cara yang tepat;

b. menggunakan teknologi perolehan minyak tingkat lanjut/EOR yang tepat;

c. memenuhi ketentuan standar peralatan yang dipersyaratkan.

Dari ketentuan pasal 40 ayat (3) UUPB dan pasal 39 PP no. 35 tahun 2004 tersebut nampak bahwa setiap perusahaan yang melakukan baik eksplorasi maupun eksploitasi minyak dan gas diharuskan melakukan kegiatannya dengan peralatan yang memadai, dengan cara dan teknik yang baik, dan sebagainya. Karena itu, jika berbagai persyaratan teknik tersebut tidak terpenuhi, maka perusahaan tersebut telah melakukan kejahatan yang mengakibatkan bencana.

Karena perlindungan atas hak hidup dan penghidupan, tidak kehilangan sumber penghidupan maupun aset dan akses sumber kehidupan, sementara lembaga usaha berkewajiban mengambil langkah pengurangan resiko bencana maka jika terjadi bencana sebagai akibat tidak dilaksanakannya dengan baik pasal 19 ayat (2) tersebut, perusahaan yang bersangkutan harus bertanggungjawab atas bencana yang terjadi.

Apakah pemilik dan pengelola perusahaan harus dimintai tanggungjawabnya?

Harus, karena perusahaan, walaupun dalam hukum berstatus sebagai orang (lembaga hukum, pemangku hak dan kewajiban hukum), yang artinya dapat menuntut dan dituntut di muka hakim, kenyataannya selalu dijalankan oleh manusia (orang alamiah). Karena itu, kesalahan yang dilakukan oleh perusahaan yang berbadan hukum, pertanggungjawabannya dapat juga dikenakan kepada pengelolanya, sebagai manusia yang nyata-nyata telah melakukan tindakan atas nama badan hukum.

Apa gunanya perusahaan juga dimintai tanggungjawab tersendiri?

Persoalan yang nampaknya sama tersebut sesungguhnya tidak selalu sama. Karena bisa terjadi, tanggungjawab antara perusahaan yang berbadan hukum dengan pengelolanya (direktur dan pejabat pembuat keputusan diperusahaan) berbeda. Sebagai contoh, misalnya dalam suatu kegiatan perusahaan terjadi ledakan besar yang menimbulkan kerusakan dan kebakaran yang meluas, yang membawa korban baik para pekerjanya maupun masyarakat di sekitarnya. Peristiwa kebakaran tersebut bisa saja tidak dapat disalahkan kepada direktur dan pembuat keputusan tinggi diperusahaan tersebut, karena ternyata perusahaan telah membuat peraturan, menyediakan peralatan yang baik sesuai dengan teknologi yang dibutuhkan dalam pekerjaan yang bersangkutan. Ternyata kebakaran disebabkan oleh kesembronoan seorang tukang, misalnya di tempat yang terlarang untuk merokok, dia sembunyi-sembunyi merokok. Dalam peristiwa demikian, jelas direktur dan pejabat tinggi perusahaan tidak dapat dimintai tanggungjawabnya secara pribadi, karena mereka telah memenuhi kewajibannya secara maksimal. Dalam peristiwa ini, jelas yang bersalah adalah si tukang yang sembrono dan melanggar aturan tersebut. Karena itu, yang pertama-tama harus bertanggungjawab adalah si tukang tersebut, yang bisa dipastikan mungkin tidak akan mampu untuk mengganti rugi pembangunan kembali rumah sekalipun. Karena itu, hukum menentukan, bahwa apa yang dilakukan oleh orang dalam kapasitasnya sebagai pegawai dan sedang dalam melaksanakan tugas pekerjaannya, perbuatannya yang menimbulkan kerugian pada pihak ketiga menjadi tanggungjawab perusahaan. Berdasarkan ketentuan inilah maka perusahaan secara perdata dapat dituntut untuk memberi gantirugi kepada pihak ketiga yang menjadi korban peristiwa ledakan tersebut, walaupun secara pidana, perusahaan tidak dapat dinyatakan melakukan tindak kejahatan perusahaan (corporate crime).

Mengapa pejabat pengawas harus ikut bertanggungjawab?

Berdasarkan ketentuan dalam pasal 42 huruf a UU. Migas, seorang pengawas mempunyai kewajiban untuk mengawasi, apakah pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu (eksplorasi dan eksploitasi tambang) memadai dalam penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi Minyak dan Gas Bumi dan juga telah menerapkan kaidah ketehnikan yang baik, memberikan persetujuan rencana Kerja dan anggaran, dan melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama.

Karena itu, jika suatu bencana terjadi akibat perusahaan pertambangan tidak menerapkan teknologi pengeboran yang layak dan tidak sesuai dengan kaidah ketehnikan yang baik, padahal dia tahu atau selayaknya harus tahu, seorang pengawas harus ikut bertanggungjawab atas bencana yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan tersebut. Tentusaja masalah ini harus dibuktikan di pengadilan.

Sebagai contoh, dalam kasus semburan lumpur Lapindo, ternyata Lapindo Brantas Inc. tidak memasang casing pada kedalaman pengeboran dimana seharusnya telah dipasang casing. Ini artinya, PT. Lapindo brantas tidak menerapkan teknologi pengeboran dan kaidah ketehnikan yang baik. Sebagai seorang pengawas, seharusnya pejabat pengawas asegera menghentikan kegiatan pengeboran yang menyalahi kaidah ketehnikan yang baik tersebut. Tetapi kenyataannya hal itu tidak dilakukan. Karena itu, sebagai pejabat pengawas, dia harus ikut bertanggungjawab atas terjadinya bencana semburan lumpur panas akibat pengeboran yang sembrono tersebut.

Siapa Yang Paling Bertanggungjawab?

Ketiga pihak merupakan pihak yang potensial bertanggungjawab atas terjadinya bencana perusahaan. Tetapi, penentuan siapa yang bersalah tergantung dari masing-masing kejadian (setiap kejadian berbeda-beda, tidak bisa digeneralisasi) yang penentuannya secara hukum didasarkan pada pemeriksaan dan keputusan hakim.

Apa saja bentuk pertanggungjawabannya?

Ada dua bentuk peranggungjawaban atas terjadinya bencana perusahaan. Yang pertama pertanggungjawaban perdata, dan yang kedua pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban Perdata adalah pertanggungjawaban untuk memulihkan kondisi korban atau mengganti rugi apa yang telah diderita oleh korban, jika pemulihan tidak mungkin, mengganti kerugian atas yang diakibatkan oleh perbuatan atau kesalahan seseorang.

Dalam pertanggungjawaban perdata, kalau tidak terjadi kesepakatan perdamaian antara pihak yang dirugikan dengan yang merugikan maka jika masalahnya diajukan ke pengadilan, hukuman yang diterima oleh pelaku yang menimbulkan kerugian bukan hukuman badan, tetapi hukuman berupa mengganti kerugian atau memulihkan pada keadaan semula (jika mungkin). Secara prinsip, seseorang harus mengganti seluruh kerugian yang diderita oleh orang lain atas perbuatan seseorang, baik kerugian yang bersifat jasmani, maupun kerugian yang bersifat non-jasmani. Sebagai contoh kerugian yang bersifat non-jasmani, misalnya peristiwa tersebut menimbulkan rasa malu pada korban, atau peristiwa tersebut mengakibatkan korban tidak dapat bersekolah, karena sekolahnya telah terendam lumpur, atau ditempat pengungsian, karena kondisinya yang buruk, korban tidak bisa belajar dengan baik, dan sebagainya.

Sedang Pertanggungjawaban Pidana adalah pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Pertanggungjawaban pidana timbul jika suatu bencana terjadi sebagai akibat dari tindakan yang sengaja, kelalaian, atau kecerobohan, yang mengakibatkan timbulnya korban berupa barang atau orang. Kalau misalnya terjadi kebakaran yang diakibatkan oleh kegiatan perusahaan dan kebakaran tersebut mengakibatkan kerugian pihak ketiga, jika perusahaan yang bersangkutan telah mendapat ijin dan teknologi yang digunakan telah disetujui, dan dalam melaksanakan kegiatan telah melakukan usaha pengamanan semaksimal mungkin hingga sebatas teknologi memungkinkan maka dalam peristiwa demikian, perusahaan dan pengelola perusahaan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Mereka hanya mungkin untuk dimintai pertanggungjawaban perdata atas kerugian pihak ketiga.

Dengan demikian, perusahaan dan pengelola perusahaan hanya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, jika bencana yang mengakibatkan meninggalnya korban, atau terlukanya korban, atau menyebabkan korban kehilangan harta benda tersebut timbul karena adanya kesalahan baik karena tindakan sengaja, kelalaian, maupun kecerobohan. Dalam hal demikian, seharusnya perusahaan, pengelola perusahaan (baik direktur maupun pelaksana, tergantung dari pembuktian mengenai kesalahan mereka), berdasarkan ketentuan hukum pidana, dapat dikenai pidana penjara dan pidana lain sesuai dengan tingkat kesalahan mereka.

Dasarnya Lapindo Brantas Inc. dapat dimintai pertangungjawaban pidana?

Yang menjadi dasarnya adalah Pasal 75 ayat (1) UUPB: “Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan pembangunan berisiko tinggi, yang tidak dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) yang mengakibatkan terjadinya bencana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun atau paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”

Kesimpulan dan Rekomendasi

Dari pemaparan di atas, terlihat banyak kejanggalan baik berupa tanggung jawab hukum Lapindo Brantas Inc. dan pemerintah selaku penyelenggara negara yang terkesan salah arah dalam tindakan eksekutorial menyikapi penanganan tragedi Lumpur Lapindo yang sampai saat ini sudah dua tahun namun belum ada kepastian hukum terhadap korban maupun “penyebab bencana” Lapindo Brantas Inc. Serta instansi pemerintah selaku pengawas dalam kegiatan pertambangan MIGAS di Blok Brantas.

Adapun rekomendasi yang harus dilakukan pemerintah sesegera mungkin adalah mempertegas penegakan hukum dalam kasus Lumpur Lapindo, dengan menggunakan Peraturan Pemerintah, yang lebih dikenal dalam “hierarki” perundang-undangan dan tidak tertutup kemungkinan hal serupa akan terjadi di daerah lain selain Sidoarjo, sebagai contoh, di Muara Enim, Sumatera Selatan dan Karang Ampel, Indramayu Jawa Barat.(*)



[1] Pemerhati Perminyakan, Kebumian dan Lingkungan

0 komentar:

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com