');

KEBOHONGAN (PUBLIK) YANG TIADA AKHIR

expr:id='"post-" + data:post.id'>

Ir. Kersam Sumanta

Semburan lumpur panas Lapindo, telah 2 tahun berlangsung. Namun hingga kini tidak ada tanda-tanda yang jelas dari pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk menentukan tindak lanjut penanggulangannya. Pemerintah tidak pernah mengeluarkan keputusan yang tegas, apakah lumpur tersebut akan dicoba untuk dimatikan atau akan dibiarkan saja sampai dia mati sendiri. Ada yang memperkirakan bahwa semburan tersebut akan berhenti sendiri setelah 30 tahun atau 150 tahun. Apapun alasannya, suatu kenyataan rakyat penduduk desa di sekitar lokasi sumur eksplorasi Banjarpanji yang terkena dampak langsung sebagai akibat semburan lumpur panas tersebut, tetapi secara tidak langsung seluruh masyarakat Jawa Timur terkena dampaknya. Jika seterusnya penanggulangan ini harus ditanggung oleh pemerintah, berarti seluruh warga Negara Republik Indonesia harus turut menanggung biaya dan pendanaannya, karena biaya tersebut harus dimasukan ke dalam RAPBN.[1] Dari mana Pemerintah punya uang kalau bukan dari warga rakyatnya?

Berbagai diskusi yang bertemakan “mencari akar permasalahan dan penanggulangan semburan lumpur panas Lapindo,” tidak pernah menghasilkan keputusan yang pasti. Yang muncul di media cetak dan media elektronik hanyalah berbagai kontroversi yang semakin membingungkan pengambil keputusan. Publik seakan-akan hanya diombang-ambingkan oleh perbedaan pendapat di antara geologis yang satu dengan geologis yang lainnya, antara para engineer, serta para pakar dan para politisi.

Yang sangat mengherankan penulis, ada seorang anggota “Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo” yang dibentuk oleh DPR yang mengaku profesinya sebagai “drilling engineer,” beliau pernah hadir pada suatu seminar yang diselenggarakan WALHI tanggal 29 Januari 2008 di Hotel Bidakara. Beliau menyebut dirinya sebagai pakar drilling dan pakar geologi alumni UNPAD[2] dan mengaku pernah bertugas di Cirebon. Tetapi ketika penulis tanya bertugas di pemboran sumur mana, beliau tidak ingat (mungkin beliau salah seorang wakil rakyat yang pelupa). Para petugas di lokasi pemboran, dari drilling superintendent sampai tukang gali parit di sekitar kolam pembuangan lumpur disebut petugas, tetapi yang disebut belakangan tidak pernah mengatakan dirinya pakar.

Ini adalah bukan kebohongan yang pertama yang penulis temui. Bahkan, para tersangka dalam kasus ini akan berusaha untuk berbohong kepada penyidik karena takut sanksi yang akan diterimanya jika dia berkata jujur. Hal itu wajar karena memang penyidiknya awam dalam bidang pemboran, tetapi mereka telah membohongi khususnya masyarakat yang dilanda musibah. Mereka tidak takut kepada Tuhan yang telah memberikan rahmat kepada mereka. Inilah yang menyebabkan penulis gerah. Fenomena tersebut sebenarnya sudah terekam dalam buku (mem) Bunuh Sumur Lapindo” pada bab yang berjudul “Bahkan Tuhan pun dilawan Lapindo.” Na’uzubillah min dzalik. Jadi tidak aneh kalau hanya masyarakat awam dalam dunia pemboran, para pejabat Negara, para pejabat publik dan para politisi dibohongi oleh mereka para pejabat Lapindo dan atau para pendukungnya.

Pada tanggal 29 Februari 2008 penulis diundang dalam simposium Nasional dengan tema “Mencari Solusi Dampak Lumpur Sidoarjo” yang diselenggarakan oleh Forum Masyarakat Jawa Timur di Surabaya. Tetapi yang penulis temui bukan solusi tetapi tetap saja kontroversi. Memang tidaklah mungkin suatu seminar menghasilkan suatu solusi yang pasti tanpa ada tindakan tegas dari pemerintah untuk berbuat sesuatu yang lebih kongkrit.

Dari majalah Tempo di dalam rubrik “Laporan Utama Lumpur Lapindo” halaman 28 sampai dengan halaman 39[3] dan Majalah TRUST[4] dengan judul “Mereka Sudah Keterlaluan,” sebenarnya dapat dijadikan masukan oleh pemerintah untuk membuat suatu keputusan yang tegas sehingga tidak membiarkan polemik berkepanjangan di masarakat.

Prof. Koesoemadinata menjelaskan dalam Seminar Nasional di Surabaya bahwa di Brunei Darusalam pernah terjadi semburan lumpur serupa dengan yang terjadi di Banjarpanji, ternyata dapat ditanggulangi dengan 20 buah relief well dalam waktu 27 tahun. Bedanya dengan di Banjarpanji yaitu semburan lumpur di Brunei Darusalam dioperasikan oleh Shell Brunei, dan dengan jujur Shell mengakui bahwa semburan tersebut karena kesalahan prosedur operasi, tetapi di Banjarpanji tidak ada yang mau mengaku, bahkan alam yang disalahkan.

Yang sangat sangat mengagetkan penulis pada seminar Nasional tersebut masih ada yang mengemukakan kebohongan-kebohongan yang dipresentasikan oleh beberapa orang presenter. Kebohongan yang mereka katakan pada seminar tersebut antara lain;

Pertama, semburan Lumpur panas Lapindo terjadi akibat gempa di Jogja yang terjadi pada tanggal 27 Mei 2006 dan menyebabkan terjadinya rekahan atau patahan di Banjarpanji, kemudian lumpur keluar melalui rekahan tersebut. Itulah yang dikatakan oleh pejabat Lapindo di depan publik.

Merujuk kepada Majalah Tempo[5], mempertegas bahwa tidak ada kaitan antara semburan lumpur di Banajarpanji dengan gempa di Yogjakarta dengan mengkonfrontasikan antara pernyataan pejabat Lapindo dengan penjelasan Kepala Badan Migas di Tretes yang bertolak belakang.

Andaikan pejabat Lapindo itu masih punya hati nurani, seharusnya dia sudah merasa malu karena sudah ditelanjangi oleh pernyataan Kepala BMG Tretes, yang membuka topeng kebohongan pejabat tersebut. Tetapi nyatanya tuduhan gempa bumi sebagai penyebab musibah semburan lumpur dilontarkan kembali pada seminar di Surabaya.

Prof. DR. Sukendar pada presentasinya di forum tersebut, menjelaskan dengan jelas bahwa patahan atau rekahan tidak disebabkan oleh gempa, tetapi gempa bisa terjadi sebagai akibat pergeseran lapisan tanah karena energi yang dilepaskannya.

Prof. DR. Koesoemadinata, dengan jelas pula mengatakan bahwa gempa di Jogja tidak mungkin menyebabkan rekahan lapisan bumi di Banjarpanji, karena letak Banjarpanji hampir 300 km sebelah timur Jogja, dan kekuatan gempa tersebut terlalu lemah untuk membuat rekahan di Banjarpanji. Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian Prof. Manga (Univ. of California USA) yang ditunjukan dengan grafik antara besarnya kekuatan gempa dengan jarak lokasi kerusakan, di mana Banjarpanji (Sidoarjo) ada di luar (di atas) garis batas kerusakan.

Artinya, kejadian di Banjarpanji tidak mungkin terjadi karena jarak Banjarpanji dari pusat gempa Yogja kurang lebih 300 km, kecuali kalau kekuatan gempa tersebut lebih besar dari 7.5 pada skala Richter. Dengan kekuatan gempa diatas 7,5 pada skala Richter sudah dapat dipastikan seluruh bangunan di kota Porong dan Sidoarjo akan musnah rata dengan tanah. Singkat kata, menuduh gempa sebagai penyebab semburan di Banjarpanji sama saja dengan usaha menutup matahari dengan telapak tangan.

Kalau masalah kebetulan di Yogja ada gempa dan 2 hari kemudian di Banjarpanji ada semburan lumpur, forum ilmiah ini bukan tempatnya untuk membicarakan kebetulan, demikian kata Prof. DR. Koesoemadinata di dalam forum tersebut. Kalau yang mengatakan bahwa semburan lumpur di lokasi Banjarpanji disebabkan karena gempa Yogja, memang karena dia belum tahu adalah wajar, tetapi kalau sudah diberi tahu oleh para pakar ilmu kebumian yang mempunyai reputasi internasional, dia masih bersikukuh mengatakan gempa bumi Yogjalah yang menyebabkan malapetaka di Banjarpanji, itu namanya sudah keterlaluan.

Salah seorang pakar geologi dari Universitas Trisakti menjelaskan azas kausalitas antara gempa bumi di Yogja dan semburan lumpur panas di Banjarpanji. Penulis jadi teringat cerita lelucon di Jawa Barat, “ada nenek hilang semalam, diketemukan kotoran macan ada ubannya,” kesimpulannya nenek sudah diterkam macan, pada hal nenek tersebut semalam pergi ke kampung lain karena dijemput anaknya. Penulis tidak tahu lagi, apa sebutan yang tepat bagi pakar yang ngeyel seperti itu.

Kedua, masalah desain selubung. Seorang Vice Presidents Lapindo mengatakan, desain selubung sudah sesuai dengan prosedur yang diperkuat oleh seorang senior staf bagian pengeboran LAPINDO.

Penulis yakin bahwa metoda yang disebut “Kick Tolerance Factor (KTF)” salah satu metoda yang digunakan untuk mendesain selubung, agar operasi pengeboran dapat dilakukan dengan aman, yang digunakan oleh Exxon-Mobil, dipakai juga oleh lapindo.

Di dalam metoda tersebut dijelaskan, bahwa:

1) Harga KTF harus lebih besar dari 1.0 ppg (pound per gallon) supaya jika terjadi kick penanggulangannya dapat dilakukan dengan aman;

2) Jika harga KTF lebih kecil dari 1.0 ppg tetapi lebih besar dari 0.5 ppg, pemboran dapat dilaksanakan dengan kehati-hatian dan pengawasan yang ketat;

3) Jika harga KTF lebih kecil dari 0.5 ppg, pemboran hanya boleh dilanjutkan atas seizin drilling superintendent saja.

Hasil perhitungan dengan menggunakan metoda tersebut untuk desain selubung di sumur Banjarpanji-1 adalah sebagai berikut:

Dengan kondisi selubung 13 3/8 inci yang disemen di kedalaman 3580 ft, dan hasil pengujian ketahanan formasi dengan cara “leak off test” (LOT) menunjukan harga 16.4 ppg, (laporan dari drilling kontraktor PT. Medici LOT=15.7 ppg). Berdasarkan data tersebut di atas, menghasilkan harga KTF= 0.47 ppg lebih kecil dari minimum. Bahkan jika menggunakan angka LOT 15.7 ppg seperti dilaporkan oleh drilling kontraktor maka harga KTF hanya 0.23 ppg.

Artinya, jika pemboran dilanjutkan sampai dalam akhir 10300 ft. resikonya sangat besar. Buktinya sangat nyata apa yang terjadi sekarang dan tidak terbantahkan lagi.

Medco, salah satu perusahaan minyak nasional yang menjadi partner Lapindo, telah menyarankan agar selubung 9 5/8 inci disemen di kedalaman 8500 feet, sebelum membor lebih dalam lagi. Jika saran Medco itu dilaksanakan maka harga KTF=1.37 ppg. sangat aman jika dalam pemboran pada trayek tersebut ada masalah operasional.

Jadi, jelas di sini siapa yang harus bertanggung jawab. Namun karena yang bertanggung jawab tersebut (dalam hal ini dijadikan tersangka) masih mengatakan “sesuai dengan prosedur,” adalah wajar. Karena ia akan berusaha menghindarkan diri dari jeratan hukum, tetapi ia telah berkhianat kepada kaidah-kaidah engineering dan hal ini sangat naïf.

Pada program pemboran sumur eksplorasi BJP-1 tertulis bahwa “setelah selubung 13 3/8’ akan dipasang selubung 11 ¾ inci di kedalaman 6100 feet dan selubung 9 5/8 inci akan dipasang di kedalaman 8500 feet.” Kenyataannya tidak seperti tertulis dalam program yang sudah disetujui oleh BP MIGAS.

Apakah penyimpangan dari program awal sudah disetuji oleh BP MIGAS atau memang tidak perlu mendapat persetujuan BP MIGAS, atau apakah BP MIGAS tidak punya kewenangan untuk mengawasi operasi para PSC/KKS, wallahu’ a’lam bi ash-shawab.

Vice President yang penulis sebut di atas juga mengatakan “sekarang sudah diputuskan oleh pengadilan bahwa Lapindo tidak bersalah. Karena itu, marilah kita hormati keputusan tersebut.” Penulis teringat waktu penulis di Sekolah Dasar ada satu peribahasa: “raja adil, raja disembah, raja lalim raja disanggah.” Apakah keputusan pengadilan yang tidak berdasarkan keadilan dan fakta yang benar perlu dihormati? Apakah keputusan pengadilan yang membebaskan pembalakan liar di Sumatera, yang telah menghancur leburkan sumber daya alam nasional, yang kemudian menuai protes manusia-manusia yang masih mempunyai hati nurani, harus dihormati? Na’uzubillah min dzalik. Pertanyaan penulis apakah beliau masih punya hati nurani?

Masihkah akan berkilah bahwa program selubung sudah sesuai dengan prosedur. Kebohongan apa lagi yang akan dipertunjukan?

Dalam satu tayangan televisi Vice President tersebut juga menambahkan pernyataan sebagai berikut: ”Lapindo telah melakukan segalanya, memberikan ganti rugi kepada penduduk yang terkena musibah, membuat bendungan/dam lumpur, memasukan bola bola beton kedalam lubang semburan dan membor 2 relief well, namun gagal dalam menghentikan semburan lumpur tersebut.” Dusta tentang relief well itu ibarat orang akan membangun rumah yang baru saja memasang fondasinya telah mengatakan dia telah selesai membangun rumahnya. Khusus untuk insersi bola bola beton biarlah para profesor di ITB yang menjadi guru besar para pakar bola beton yang tertawa nikmat. Dagelan tingkat tinggi yang tidak lucu telah dipertontonkan oleh Lapindo

Ketiga, kebohongan lainnya “semburan lumpur panas tidak keluar dari creater, tetapi keluar dari patahan.” Prof. Koesoemadinata berkomentar, Lapindo pasti tidak dapat menunjukan bahwa ada patahan pada peta seismik sebelum pemboran dimulai. Karena kalau ada patahan besar di sekitar lokasi Banjarpanji-1, alangkah keterlaluannya memilih lokasi di tempat yang dilewati patahan tersebut. Kalau setelah terjadi semburan lumpur teryata banyak garis-garis rekahan seperti patahan, yaitulah ciri khas yang disebut creater.

Pada laporan harian tanggal tanggal 1 Juni 2006, drilling super visor Wilem Hunila melaporkan adanya semburan terus-menerus keluar dari creater, dan meluber ke jalan dan ladang di sekeliling lokasi. Suatu pengakuan yang jujur.

Pada laporan tanggal 29 dan tanggal 30 Mei, crew berhasil mematikan semburan dengan memompakan lumpur berat 14.7 ppg mula2 130 bbls dan disusul dengan 100 bbls, dipompakan melalui rangkaian pipa bor. Semburan di creater menjadi berkurang atau hampir mati, hal tersebut hanya mungkin terjadi bila ada komunikasi antara sumur BJP-1 dengan creater. Jika tidak ada hubungan bagaimana mungkin. Apakah ini kebetulan?

Dari laporan harian pada saat menangani semburan dengan memompakan 200 bbls lumpur dengan berat 16 ppg melalui pipa bor dengan tekanan awal 1200 psi dan tekanan akhir 900 psi, ini berarti tekanan di bawah pahat di kedalaman 4241 feet sebesar 4728.5 psi yang lebih besar dari kekuatan rekah formasi yang hanya 3616.7 psi, dapat dipastikan formasi akan pecah. Mudah-mudahan DR. Ir. Doddy Nawangsidi sudah membaca laporan harian tersebut.

Apakah ini juga kebetulan? Kebohongan apa lagi yang mau dipertontonkan?

Keempat, masalah “mud volcano.” Pada laporan harian pemboran tanggal 1 Juni 2006, yang dibuat oleh Willem Hunila, analisa dari fluida yang keluar dari semburan yang dikerjakan oleh mud engineer dengan hasil sebagai berikut:

pH=7, Cl-=13500 mgr/ltr, oil=0%, water=100%

Jadi, yang keluar pada awal semburan jelas bukan lumpur. Fluida yang keluar belakangan ini berupa lumpur dengan komposisi 70% air dan 30% clay dan padatan lain, terjadi karena air formasi yang keluar dari lapisan pasir di kedalaman mulai dari 6200 feet menggerus serpih yang ada di atasnya atau serpih di belakang selubung 13 5/8 inci. Prof. Koesoemadinata pada papernya menamakan semburan lumpur tersebut sebagai “hot mud-spring.”

Pada papernya, (slide 14) beliau juga mengatakan: “banyak para ahli geologi berkesimpulan bahwa Lusi terjadi secara alamiah dengan membandingkan mud volcano yang ada di sekitar Jawa Timur. Mereka mendasarkan pendapatnya pada gejala permukaan saja dan sedikit mengenai bawah permukaan. Mereka tidak menghiraukan adanya masalah pada proses pemboran yang terjadi di dekat gejala tersebut. Mereka juga kurang paham adanya berbagai jenis gunung api lumpur. Suatu kasus yang baru saja terjadi tentang kecelakaan pesawat terbang Adam Air yang kecebur di perairan Sulawesi, banyak orang baik yang berkompeten atau orang awam sekalipun boleh berspekulasi tentang kemungkinan terjadinya kecelakaan tersebut, tetapi setelah diketemukan ”Black Box” dari pesawat naas tersebut dan dibaca oleh ahlinya (di Amerika?), ternyata hanya ada satu penyebabnya yang pasti adalah kesalahan manusia. ”Black Box” dalam pemboran sumur BJP-1 adalah semua data yang dicatat baik secara electronik atau manual, sebagian besar telah ada di tangan POLDA JATIM sebagai pihak penyidik, dan yang bisa membaca dan mengartikan catatan-catatan (Black Box) tersebut adalah para profesional drilling engineer yang loyal kepada profesinya dan masih punya hati nurani, karena black box tersebut adalah domain nya drilling engineers, bukan domainnya geologist atau wakil anggota DPR yang saya sebut di atas.

Pada “composite log” hasil analisa serbuk bor yang keluar dari awal sampai kedalaman 9277 feet, selalu diperoleh serbuk bor atau cuttings yang padat. WOB (weight on bit) pada waktu membor sampai kedalaman tersebut jelas ada besarannya. Karena, kalau pahat menembus lapisan yang sangat lunak seperti mud diaphir, pasti WOB akan turun sangat signifikan. Jadi, dari permukaan sampai kedalaman akhir tidak ada formasi yang disebut mud volcano atau diaphir.

Penulis sangat prihatin, jika kebohongan-kebohongan tersebut termakan oleh para petinggi Negara dan para wakil rakyat. Jika musibah ini dinyatakan sebagai bencana alam, Anda telah mendzolimi bukan hanya masyarakat Sidoarjo dan Jawa Timur saja, tetapi seluruh penduduk negeri ini harus membayar mahal atas kebohongan Anda.[6] Atau dalam peribahasa “siapa saja yang menyembunyikan kebenaran demi setumpuk uang, martabatnya lebih hina dari pada orang yang menjual tubuhnya demi sepiring nasi.” Penulis betul-betul sedih, karena kejujuran hanya ada dalam sinetron “Republik BBM.”

Semoga Allah SWT membukakan hati nurani para pembohong di negeri ini. Kepada para patriot yang masih mempunyai hati nurani, marilah kita beristiqomah untuk menegakan kebenaran Illahiyah yang haqiqi. Kita pasti tidak sendirian. Mengatakan yang benar meskipun hanya dalam hati, itu tandanya kita masih beriman. (*)



[1] Koran Tempo, 28 Februari 2008.

[2] Majalah Tempo, 9 Maret 2008, hal. 66.

[3] Majalah Tempo, 25 Februari 2008.

[4] Hal. 56 s/d 58.

[5] Tempo, 25 Februari 2008, hal. 35.

[6] Hizbut Tahrir Indonesia, edisi 394/Tahun XV hal. 3.

0 komentar:

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com